Connect with us

Pendidikan

Mengenal Sosok Abu Darda’

#Seri Mengenal Sosok Sahabat

Abu Darda’, Orang Bijak yang Tiada Duanya

Saat pasukan Islam berjihad dari satu tempat ke tempat berikutnya dan kemenangan demi kemenangan diraih, di Madinah, tinggallah seorang pemikir bijak penuh karisma. Setiap kata-katanya penuh hikmah bak mutiara. Ia berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Maukah kalian aku beritahu perbuatan paling baik bagi kalian? paling baik di sisi Allah? paling meninggikan derajat kalian? lebih baik daripada memerangi musuh, saat kalian sedang menebas batang leher kalian? dan lebih baik dari uang perak dan emas?”

Orang-orang itu pun sama-sama mendongakkan kepala dan bertanya, “Apakah itu, wahai Abu Darda’?” Abu Darda’ memulai pembicaraannya dengan wajah berseri-seri memancarkan cahaya iman dan hikmah, “Zikir kepada Allah, karena sesungguhnya, zikir kepada Allah-lah yang paling besar.”

Keislaman Abu Darda’

Abu Darda’ adalah seorang pedagang yang bijaksana. Namanya adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais al-Anshari al-Khazraji. Namun kunyahnya, Abu Darda, lebih dikenal dari nama aslinya. Meskipun namanya cukup tenar di antara para sahabat Nabi saw. tetapi ternyata ia termasuk orang Anshar terakhir yang memeluk Islam.

Abu Darda’ berkawan baik dengan Abdullah bin Rawahah. Setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah, dua kawan itu berbeda jalan. Abdullah bin Rawahah masuk Islam, sedangkan Abu Darda’ masih dalam kemusyrikan. Kesadarannya memeluk Islam bermula dari ia menemukan berhalanya hancur berkeping-keping karena dihancurkan Abdullah bin Rawahah secara diam-diam.

Awalnya, Abu Darda’ marah. Namun, di ujung kemarahannya, ia mulai sadar. “Seandainya berhala itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.” Ditemani Abdullah bin Rawahah, Abu Darda’ segera menemui Nabi saw. dan masuk Islam. Namun, ia sangat menyesal terlambat menjadi muslim. Meski terlambat masuk Islam, tetapi itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat Nabi saw.

Kedudukannya mulia di antara para sahabat Nabi saw.. Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Sebaik-baik penunggang kuda (kesatria) adalah Uwaimir.” Beliau juga bersabda, “Ia adalah orang bijaknya umatku.” Abu Darda’ adalah salah seorang dari empat orang penghafal Al-Qur’an di masa hidup Nabi saw. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saat Rasulullah saw. wafat, Al-Qur’an itu tidak dihafal kecuali oleh empat orang; Abu Darda’, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”

Sahabat Nabi yang Zuhud

Setelah berislam, Rasulullah saw. mempersaudarakannya dengan Salman al-Farisi. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’. Ia melihat Ummu Darda’ memakai pakaian kerja dan tidak mengenakan pakaian yang bagus. Salman bertanya kepadanya, “Wahai Ummu Darda’, kenapa engkau berpakaian seperti itu?” Ummu Darda’ menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sedikit pun tidak perhatian terhadap istrinya. Di siang hari ia berpuasa dan di malam hari ia selalu salat malam.”

Lantas datanglah Abu Darda’ lalu menghidangkan makanan kepadanya seraya berkata, “Makanlah (wahai saudaraku), sesungguhnya aku sedang berpuasa,” Salman menjawab, “Aku tidak akan makan hingga engkau makan.” Lantas Abu Darda’ pun ikut makan. Tatkala malam telah tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan salat. Akan tetapi, Salman menegurnya dengan mengatakan, “tidurlah” dan ia pun tidur. Tidak lama kemudian ia bangun lagi dan hendak salat, dan Salman berkata lagi kepadanya, “tidurlah.” (dia pun tidur lagi-pen).

Ketika malam sudah lewat, Salman berkata kepada Abu Darda’, “Wahai Abu Darda’, sekarang bangunlah”. Maka, keduanya pun mengerjakan salat.” Setelah selesai salat, Salman berkata kepada Abu Darda-, “Sesungguhnya Rabb-mu mempunyai hak atas dirimu, badanmu mempunyai hak atas dirimu, dan keluargamu (istrimu) juga mempunyai hak atas dirimu. Maka, tunaikanlah hak mereka.” Lalu Abu Darda’ mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut kepadanya. Nabi saw. menjawab, “Salman benar.” (HR Al-Bukhâri No. 1867)

Bijaksananya Abu Darda’

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., Abu Darda’ pernah ditawari jabatan tinggi, tetapi ia menolak. Umar marah, lalu Abu Darda’ menyetujui bertugas ke Syam bukan sebagai pejabat tinggi. Namun, ia menjadi guru yang mengajarkan Al-Qur’an, Sunah, serta membimbing umat. Umar pun menyetujuinya.

Di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abu Darda’ diangkat menjadi hakim di Syam. Ia mengawasi mereka yang terlena dengan kemewahan dunia. Ia mengingatkan mereka akan pola hidup dan kezuhudan Rasulullah saw serta para syuhada dan shiddiqin dari generasi pertama. Abu Darda’ adalah laki-laki yang berwibawa, simpatik, dan menyinarkan cahaya. Sifat bijaksananya tunduk pada aturan Allah Swt. Perasaannya patuh pada ajaran Rasul dan logika berpikirnya lurus dan terarah.

Ia berkata, “Carilah kebaikan sepanjang hidupmu. Carilah embusan rahmat Allah karena embusan rahmat-Nya akan mengenai hamba yang dikehendaki-Nya. Mohonlah kepada Allah agar ia menutupi kekurangan kalian, dan menghilangkan rasa takut kalian.”

Rekannya yang bernama Abu Qalabah bercerita, “Suatu hari, Abu Darda’ melewati seorang laki-laki yang telah melakukan satu kesalahan, lalu dicaci maki oleh orang-orang. Abu Darda’ mencegahnya seraya berkata, “Jika kalian mendapatinya terperosok dalam satu lubang, apakah kalian akan mengeluarkannya?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata, ‘Kalau begitu jangan kalian mencelanya. Bersyukurlah kepada Allah yang telah menyelamatkan kalian dari dosa dan kesalahan.” Mereka bertanya, “Apakah engkau tidak membencinya?” Ia menjawab, ‘Yang kubenci adalah perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahannya, maka ia saudaraku.”

Pesan Hikmah Abu Darda’ ra.

Bagi Abu Darda’, ibadah bukan hanya rutinitas kosong, melainkan upaya mencari kebaikan dan rahmat Allah Swt. serta sikap kepatuhan total untuk mengingatkan kelemahan manusia dan nikmat yang Allah Swt. beri. Beliau berkata, “Ada 3 hal yang membuatku tertawa dan 3 hal yang membuatku menangis. Tiga hal yang membuatku tertawa, yaitu pertama, orang yang cita-citanya adalah duniawi, padahal kematian selalu mengintainya. Kedua, orang yang lalai dari kematian, padahal kematian tidak pernah lalai kepadanya. Ketiga, orang yang terlalu banyak tertawa, ia tidak tahu apakah Allah Azza wa Jalla murka atau rida kepadanya. Adapun 3 hal yang membuatku menangis adalah, dahsyatnya kiamat, terputusnya amal, dan keadaanku di hadapan Allah Azza wa Jalla , apakah akan dimasukkan di surga atau neraka.”

Pada suatu hari, rekan-rekannya menjenguknya yang sedang sakit. Mereka mendapatinya berbaring di atas selembar kulit binatang. Mereka berkata, “Jika kamu mau, kami akan ganti dengan alas tidur yang lebih empuk.” Dengan isyarat jari telunjuk dan tatapan mata yang jauh ke depan, ia menjawab, “Kampung kita nun jauh di sana. Untuk di sana kita mengumpulkan bekal dan ke sana kita akan kembali. Kita akan berangkat ke sana dan beramal untuk bekal di sana.”

Sungguh sikap yang bijaksana. Memandang dunia hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Semoga kita bisa mengambil setiap petikan hikmah dari Abu Darda’ bahwa dunia tak ubahnya tempat menanam amal untuk bekal di kampung halaman sesungguhnya, yaitu akhirat.

Wallahu a’lam bishsawab

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 + 13 =