Pendidikan
Mengenal Sosok Ummul Mukminin
Sirah Shohabiyah
Maimunah binti Al-Harits ra.
“Maimunah adalah wanita yang paling bertakwa dan paling kuat menjaga silaturahmi di antara kami.” (Aisyah ra.)
Garis Keturunan yang Terhormat
Sebelum menelusuri riwayat perjalanan hidupnya yang harum semerbak, mari kita berhenti sejenak untuk mengetahui latar belakang keluarganya yang sekelilingnya dihiasi dengan kemuliaan dan kehormatan. Suami Maimunah adalah manusia paling agung sepanjang zaman yang diutus oleh Allah Swt. sebagai pengejawantahan kasih sayang kepada seluruh alam semesta, Muhammad bin Abdullah saw. Statusnya sebagai istri beliau sudah cukup untuk menunjukkan keagungannya.
Saudara perempuannya adalah Ummul Fadhl binti Al-Harits, istri Al-‘Abbas, paman Nabi saw., yang dikenal gemar menolong tetangga, menyantuni orang lemah, mudah mengorbankan kekayaan, memberi pakaian kepada orang yang kekurangan, dan memberi makan orang yang lapar.
Dengan demikian, Maimunah adalah bibi (dari pihak ibu) Abdullah Ibnu Abbas ra., ahli tafsir Al-Qur’an yang mengisi dunia dengan ilmu dan pemahaman mendalam terhadap agama. Dia juga merupakan bibi (dari pihak ibu) si Pedang Allah, Khalid bin Walid ra., yang menorehkan tinta emas dalam lembaran-lembaran sejarah dan tidak dapat dilupakan oleh dunia sepanjang masa.
Rasulullah saw. pernah menyatakan, “Khalid bin Walid adalah pedang Allah yang dihunus oleh Allah untuk menghancurkan orang-orang musyrik.”
Berbesan dengan Orang-Orang Terbaik
Ada yang mengatakan bahwa Maimunah adalah wanita paling beruntung karena memiliki ikatan besan dengan orang-orang terbaik. Dia sendiri adalah istri Nabi saw. Al’Abbas menikahi adik kandung perempuannya yang bernama Lubabah. Hamzah menikahi adik perempuannya yang lain yang bernama Salma.
Ja’far bin Abu Thalib menikahi adik kandung perempuannya yang lain lagi, yakni Asma.’ Setelah Ja’far meninggal dunia, Asma’ dinikahi Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian dinikahi Ali bin Abu Thalib setelah Abu Bakar meninggal.
Tanah yang Subur
Ibunda kita, Maimunah ra., dibesarkan di tengah ladang yang sangat subur dan di tengah keluarga yang penuh berkah. Cahaya iman meliputi seluruh relung hati dan sendi-sendi tubuhnya. Ia tidak pernah mempunyai angan-angan tinggal di dalam salah satu istana termegah di dunia, ataupun di tengah gelimang kenikmatannya karena ia tahu betul bahwa bagi Allah Swt., dunia dan seisinya tidak berarti apa pun, walau hanya sebesar sayap lalat.
la yakin bahwa tempat sebesar pijakan telapak kaki orang mukmin di surga jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya. Berdasarkan hal itu, wajar jika ia termasuk wanita yang pertama kali memeluk agama Allah ‘azza wa jalla dan mendapat kesaksian dari Rasulullah saw. sebagai orang yang beriman.
Cita-cita yang Tinggi
Sebelum memeluk Islam, Maimunah menikah dengan Mas’ud bin ‘Amr ats-Tsaqafi yang kemudian menceraikannya. Setelah itu, ia menikah dengan Abu Ruhm bin Abdul ‘Uzza, tetapi kemudian ia meninggal dunia.
Sepeninggal suami keduanya, Maimunah ra. mendapat firasat bahwa Allah ‘azza wa jalla akan menganugerahinya seorang suami yang akan merengkuh kedua tangannya untuk berjalan bersama menuju surga dunia dan akhirat. Akan tetapi, siapakah suami yang penuh berkah itu?
Maimunah ra. sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi salah seorang Ummul Mukminin sekaligus istri dari manusia paling agung sepanjang zaman, namun catatan takdir terus mendekatkan dirinya sedikit demi sedikit kepada bayangan harapan tertinggi setiap wanita mukmin di seluruh jagat raya itu.
Ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya datang ke Makkah untuk melaksanakan umrah pengganti (‘umratul qadhaa‘), terjadilah pernikahan yang penuh berkah itu. Rasulullah saw. menikahi wanita yang penuh berkah Maimunah binti Al-Harits setelah menyelesaikan ibadah umrah dan dalam perjalanan pulang ke Madinah.
Meriwayatkan Hadis Nabi saw., Imam Adz-Dzahabi berkata, “Maimunah termasuk tokoh wanita yang meriwayatkan sejumlah hadis. Beberapa orang yang meriwayatkan hadis darinya antara lain Ibnu Abbas dan seorang putra saudara perempuannya yang lain, Abdullah bin Syaddad bin al-Haad, Ubaidullah bin As-Sabbaq, Abdurrahman bin As-Sa’ib al-Hilali dan Yazid bin Al-Asham, serta seorang pembantu Ibnu Abbas yang bernama Kuraib. Begitu juga pembantu Maimunah sendiri yang bernama Sulaiman bin Yasar dan saudaranya, ‘Atha’ bin Yasar. Masih ada beberapa orang lagi yang meriwayatkan hadis darinya.”
Bagaimana ia tidak mencapai derajat yang tinggi ini, sedangkan ia melewati hari-harinya di bawah naungan Nabi saw. dan mengambil ilmu langsung dari sumbernya yang jernih tanpa perantaraan siapa pun. la meraih sekian banyak kebaikan dari sumber tersebut.
Saatnya Berpisah
Sepeninggal Rasulullah saw., Maimunah tetap memegang teguh komitmennya sebagai ahli ibadah, selalu melakukan salat malam, berpuasa, dan membaca Al-Qur’an. Ia benar-benar rindu untuk segera bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla, karena yakin bahwa siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah Swt., maka Allah Swt. akan rindu untuk bertemu dengannya.
Tibalah saat yang pasti bagi Maimunah untuk meninggalkan dunia dan segala isinya yang fana untuk menghadap Tuhannya. Maimunah mengembuskan napas terakhir setelah melewati masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. la sangat dihormati oleh khulafa dan ulama sepanjang hidupnya hingga masa pemerintahan Mu’awiyah ra..
Menjelang kematiannya, Maimunah ra. teringat dengan pesan yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Yazid bin Al-Asham ra. berkata, “Maimunah, istri Nabi merasakan sakitnya makin parah ketika berada di Makkah. Saat itu, tidak ada seorang pun dari anak-anak saudara laki-lakinya yang hadir. Ia berkata, ‘Bawalah aku keluar dari Makkah, karena Rasulullah saw. pernah berkata kepadaku bahwa aku tidak akan meninggal di Makkah.’ Ia pun dibawa ke daerah Saraf, dekat sebuah pohon yang menjadi saksi malam pertamanya dengan Rasulullah saw., karena beliau membangun kemah di bawahnya. Di tempat itulah Maimunah mengembuskan napas terakhirnya. Ketika kami meletakkan jasadnya di dalam liang kubur, aku melepaskan kain atasku lalu meletakkannya di bawah pipi Maimunah. Melihat hal itu, Ibnu Abbas langsung merampasnya dari tanganku dan membuangnya.”
Dalam riwayat lain, Yazid bin Al-Asham berkata, “Kami menguburkan jasad Maimunah di Saraf, tepat di bawah pohon tempat dia melewati malam pertama dengan Rasulullah saw. Ia berada di sana karena sedang melaksanakan ibadah haji. Akulah yang turun ke dalam kuburnya bersama Ibnu Abbas.” Atha’ berkata, “Maimunah meninggal di Saraf. Aku menemuinya bersama Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata, “Jika kalian telah mengangkat kerandanya maka jangan sampai tubuhnya terguncang.”
Maimunah ra., meninggal dunia pada 51 Hijriah. Setelah ia meninggal, ‘Aisyah ra. pernah menyanjungnya dengan sebuah kalimat memorial yang tidak akan dilupakan oleh sejarah, “Demi Allah, Maimunah telah tiada…. Ia adalah orang yang paling bertakwa dan paling kuat menjaga silaturahmi di antara kami.”
Ibunda kita, Maimunah ra. telah meninggalkan kita selama-lamanya untuk menyusul kekasih, suami sekaligus nabinya, Muhammad saw., di taman-taman indah yang dibelah oleh sungai, di tempat yang menyenangkan di sisi Allah yang Mahakuasa.
Semoga Allah meridainya dan membuatnya rida, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan terakhirnya.
Sumber: Mahmud Al-Mishri. 2006. 35 Sirah Shahabiyah (35 Sahabat Wanita Rasulullah saw.). Jakarta: Al-I’tishom.
Wallahu a’lam bishsawab