Pendidikan
Budaya Lokal dan Asing
Budaya dalam Pandangan Islam
Penyebaran budaya asing di dalam negeri semakin marak. Mulai dari cara berpikir, berpakaian, gaya bicara, penampilan, sampai pada bentuk kesenian pun hampir semuanya berkiblat kepada budaya Asing.
Hal ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, media cetak maupun dalam tayangan televisi. Masyarakatpun prihatin dengan fenomena seperti itu. Tidak sedikit, himbauan yang menekankan pentingnya menghidupkan budaya lokal untuk dapat membentengi jati diri bangsa dari serbuan budaya asing, .
Tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana sebenarnya budaya dilihat dari kaca mata ajaran Islam.
Budaya Asing atau Lokal ?
Allah SWT menjadikan manusia hidup di dunia ini untuk dapat meraih kebahagiaan akhirat tanpa melupakan kenikmatan dunia (lihat QS. Al Qashash 77). Hal ini dapat dicapai hanya dengan menjadikan hidup manusia semata untuk beribadah kepada-Nya. Artinya, hidup manusia itu dalam rangka tunduk , patuh, dan taat kepada aturan Allah. Dia berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz Dzariyat 56).
Dengan demikian hakikat hidup manusia adalah ibadah dan segala hal yang dilakukannya mesti didasarkan kepada Islam. Sebab, orang yang akan berbahagia di sisi Allah SWT hanyalah mereka yang menerapkan Islam secara total baik dalam perkara keyakinan maupun perilakunya, termasuk di dalam berkebudayaan. Tegas sekali perintah Allah SWT di dalam Al Quran :
“Hai orang-orang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kalian” (QS. Al Baqarah 208).
Imam Ibnu Katsir memaknai ayat tersebut dengan menyatakan bahwa semua orang beriman diperintahkan untuk melaksanakan seluruh cabang iman dan hukum-hukum Islam semaksimal mungkin. Tambahnya lagi ‘Masuklah kalian kedalam syariat agama yang dibawa Muhammad SAW, dan janganlah kalian mengabaikan sedikit pun dari syariat tersebut’ (Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, jilid I, hal. 209 – 210).
Jadi, Allah SWT mewajibkan kepada orang yang benar-benar beriman untuk terikat dengan aturan Islam dalam segala hal, termasuk dalam persoalan budaya. Budaya lokal ataupun asing bila bertentangan dengan ajaran Islam wajib disingkirkan. Sebab, seperti disitir dalam ayat tadi, semua itu termasuk jalan yang digariskan syaithan.
Siapapun yang mengamati kebudayaan lokal di negeri ini akan menyimpulkan bahwa tidak sedikit kebudayaan lokal yang bertentangan dengan Islam. Betapa banyak tontonan wayang yang mengajarkan kebudayaan Hindu, tari-tari daerah pun tak jarang mempertontonkan aurat, musik lokal tak lepas dari goyangan ‘hot’ si biduanita yang melantunkannya. Belum lagi tayangan-tayangan produk lokal yang teracuni oleh budaya asing. Jadi, masalahnya bukan produk asing atau lokal. Tetapi terletak pada nilai-nilai yang melandasi dan yang dikandungnya. Apalah artinya budaya lokal kalau ternyata sekedar hasil jiplakan budaya Barat non Islam. Apa pula artinya budaya lokal asli bila bertentangan dengan ajaran Islam. Bila hal ini dipaksakan juga, yang akan terjadi adalah kepedihan dan nestapa di akhirat, serta kerusakan interaksi antar manusia di dunia ini. Budaya apapun yang didasarkan pada aqidah dan aturan bikinan manusia —makhluk yang serba kurang, serba butuh, dan serba lemah dibandingkan dengan Allah SWT Penciptanya— sama saja dengan menempuh jalan syaithan yang membawa kekejian. Firman Allah SWT :
“Syaithan menjanjikan kemiskinan kepada kalian dan menyuruh kalian berbuat kekejian; sedangkan Allah menjanjikan untukmu pengampunan dari-Nya dan karunia. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Al Baqarah [2] : 268).
Perlu disadari, sebagai salah satu bentuk perang budaya (ghazwu tsaqafi), Barat tatkala merambah dunia Islam menyebarluaskan konsep budaya —termasuk seni— yang bercorak materialis dan berhalais, memuja kecantikan semu serta ekspresi-ekspresi yang penuh dengan paham keserbabolehan. Di dunia Islam mereka terus berupaya menghidupkan budaya Helenisme Yunani, Romawi Kuno, dan menghidupkan budaya lokal pra Islam. Di Indonesia, budaya pra Islam jaman Majapahit ataupun kejawen, misalnya, terus menerus digali dan dikembangkan.
Budaya: Hadlarah dan Madaniyah
Dalam berbagai literatur kebudayaan diartikan sebagai hasil dari cipta, karsa dan rasa manusia atau keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Berdasarkan cara pandang sekularistik, budaya dalam makna tersebut haruslah bersifat anthroposentris. Artinya, segala sesuatunya lahir dari manusia. Seluruh agama —termasuk Islam — pun didudukkan sebagai budaya yang merupakan produk pemikiran manusia.
Berbeda halnya dengan orang yang menjadikan Islam sebagai kepemimpinan ideologis (qiyadah fikriyah) melihat bahwa dalam ‘budaya’ itu ada 2 hal berbeda. Pertama, hadlarah dan kedua madaniyah. Hadlarah dimaknai sebagai kumpulan pemahaman tentang kehidupan, sementara madaniyah merupakan bentuk-bentuk materiil berupa benda-benda hasil karya manusia yang digunakan dalam kehidupannya (Nizhamul Islam, hal. 59). Berdasarkan pengertian tadi, ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan hukum-hukum serta adat istiadat termasuk kedalam hadlarah. Adapun contoh madaniyah adalah seluruh benda-benda yang konkrit dapat dilihat, dirasa, diraba, dan dipergunakan, seperti pabrik, bangunan bertingkat, rumah, mobil, motor, komputer, lampu, candi, masjid, gereja lukisan, kain batik, kancing baju, dll.
Hadlarah akan berbeda-beda sesuai dengan aqidah dan hukum yang melahirkannya. Bila aqidah dan hukum yang melahirkan hadlarah tersebut adalah Islam maka hadlarah tersebut merupakan hadlarah Islam. Sebaliknya bila hadlarah itu lahir dari selain Islam maka hadlarahnya menjadi hadlarah bukan Islam, dan tentu saja bertentangan dengan Islam.
Dalam keyakinan, misalnya, pemahaman bahwa Allah adalah Dzat yang memberi rizki, Maha Pemurah dan Maha Gagah yang dipresentasikan dengan senantiasa memohon rizki kepada-Nya dan berlindung kepada-Nya saja merupakan hadlarah Islam. Sementara, keyakinan bahwa ada kekuatan lain seperti ratu laut selatan atau dewa-dewi hingga perlu pesta laut agar nelayan memperoleh rizki atau ruwatan bagi anak tunggal (dalam tradisi Jawa kuno disebut ontang anting) untuk mendapat keselamatan tergolong hadlarah bukan Islam.
Begitu pula pemikiran bahwa manusia harus menutup aurat merupakan hadlarah Islam. Sebab merupakan perintah Allah SWT dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Sementara, pemikiran bahwa manusia itu bebas berperilaku hingga wanita boleh berpakaian mini dalam kehidupan umum di tengah-tengah masyarakat, mengikuti trend mode yang mengundang birahi, berpakaian ketat dan transparan serta berlenggak-lenggok saat bernyanyi di hadapan umum merupakan hadlarah bukan Islam.
Menyangkut ekonomi, hukum bahwa dalam perekonomian tidak boleh sedikit pun mengandung unsur riba merupakan hadlarah Islam. Sebab Allah SWT telah mengharamkannya. Nabi pun menjelaskan betapa besar dosa pelaku riba yang bahkan melebihi dosa seseorang yang berzina dengan ibu kandungnya! Sebaliknya, renten dan riba yang membudaya dilakukan di tengah kehidupan sekarang merupakan hadlarah bukan Islam.
Contoh lain, dalam bidang pergaulan, Allah SWT melarang kaum muslimin mendekati zina (lihat QS. Al Isra 32) dan Nabi melarang seseorang berkhalwat (menyendiri) dengan wanita kecuali disertai mahramnya. Ini menunjukkan bahwa hadlarah Islam yang menyangkut interaksi laki-laki dan perempuan ada aturannya. Jadi, hubungan laki-laki dengan perempuan sebelum menikah, budaya bergaul bebas dan kumpul kebo merupakan hadlarah bukan Islam.
Dalam bidang kenegaraan pun demikian. Gagasan tentang paham kebangsaan (nasionalisme) bukan hadlarah Islam. Islam tidak mengenal paham seperti ini. Malah Rasulullah SAW bersabda :
“Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyeru kepada ‘ashabiyyah (nasionalisme / sukuisme), orang yang berperang karena ‘ashabiyyah serta orang-orang yang mati karena ‘ashabiyyah” (HR. Abu Dawud).
Walhasil, segala perkara yang menyangkut hadlarah hanya ada dua kemungkinannya, Islam atau bukan. Bila ‘budaya’ yang merupakan hadlarah tersebut berdasarkan aqidah Islam dan digali dari hukum-hukumnya maka itulah yang harus diambil. Sebaliknya, segala hal yang bertentangan dengan Islam dan atau lahir dari aqidah serta hukum bukan Islam, Allah SWT melarang kaum muslimin untuk mengambil maupun menerapkannya. Firman Allah SWT :
“Barang siapa mencari dien (agama dan sistem hidup) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima apapun darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran 85).
Nabi SAW bersabda :
“Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan agama kami ini yang tidak ada dasar daripadanya maka itu tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim).
Berbeda dengan hadlarah, realitas madaniyah itu ada yang lahir dari hadlarah dan ada pula yang tidak lahir darinya melainkan lahir dari sains dan teknologi. Contoh madaniyah yang didasarkan pada hadlarah bukan Islam dan lahir darinya adalah lukisan makhluk bernyawa. Sebab Rasulnya melarangnya. Al Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda :
“Siapa saja yang membuat gambar (manusia atau hewan) maka Allah akan menyiksanya karena gambar tersebut di hari kiamat hingga ia meniupkan ruh ke dalamnya, padahal ia sama sekali tidak mampu melakukannya.”
Begitu pula kalung salib, pohon natal, simbol zionis, swastika, baju bikini, patung dan merupakan madaniyah yang lahir dari hadlarah bukan Islam.
Bentuk kebudayaan materil atau madaniyah bila lahir dari hadlarah bukan Islam berarti tergolong bagian dari hadlarah tersebut. Dengan demikian, seorang mukmin yang benar-benar takut kepada Allah SWT tidak akan menggunakan ataupun menyebarkannya sebab Allah SWT melarang mengadopsi segala sesuatu yang terkait dengan hadlarah bukan Islam.
Berbeda dengan itu, bentuk kebudayaan materiil yang lahir dari sains dan teknologi serta tidak terkait dengan hadlarah bukan Islam boleh diambil dari siapa saja tanpa lagi membedakan dari Barat maupun Timur, penemunya muslim atau bukan.. Rasulullah SAW bersabda:
“Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian (sains dan teknologi)” (HR. Muslim)
Hadits ini memberikan kebebasan bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, profesi, industri, dan teknologi modern dan apa saja yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan selama tidak bertentangan dengan syara’. Bahkan, Rasulullah SAW pernah mengirim dua orang sahabat yaitu ‘Urwah Ibnu Mas’ud dan Ghailan Ibnu Maslamah ke kota Jarasy di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata Dabbabah (semacam tank di masa itu) setelah beliau mengetahui bahwa alat tersebut mampu digunakan untuk menerobos benteng lawan (Ath Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, jilid III, hal. 132).
Berdasarkan penjelasan tadi dibolehkan umat Islam mengadopsi kebudayaan materil seperti produk elektronika VCD, radio, TV, komputer, listrik, tilpun, motor, mobil, kain, makanan, minuman halal, dan produk lainnya sekalipun berasal dari orang bukan Islam tanpa memandang berideologi apa. Hanya, tentu saja, penggunaan produk tersebut akan berbeda antara umat Islam yang berpegang teguh pada hadlarah Islam dengan mereka yang tidak.
Khatimah
Dewasa ini umat Islam tengah dilanda perang kebudayaan. Berbagai serbuan budaya begitu deras, sulit dibendung. Bila tidak diselesaikan maka generasi muslim mendatang sangat boleh jadi tidak lagi mengenal ajaran Islam dan jauh dari budaya yang lahir dari Islam. Langkah jangka pendek adalah mempopulerkan budaya yang lahir dari Islam menggantikan budaya yang bertentangan dengan Islam. Namun, kebudayaan Islam akan terlaksana, terjaga, dan lestari dengan diterapkannya seluruh syariat Islam. Sebab itu, perjuangan berbudaya Islam secara individual saat ini dan penegakkannya dalam kehidupan Islam merupakan tanggung jawab semua orang. Itulah jalan keselamatan. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq!.