Connect with us

Ekonomi

Islam dan Revolusi Industri 4.0

Prof. Dr. Fahmi Amhar
Anggota Dewan Pakar IABIE/Peneliti Badan Informasi Geospasial

Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah revolusi industri 4.0 beserta segala yang menyertainya, yakni “disruptif”, “ekonomi digital”, hingga “VUCA”, yakni keadaan penuh gejolak (Volatility), tidak pasti (Uncertainty), rumit (Complexity), dan serba kabur (Ambiguity). Namun apa itu revolusi industri 4.0 ?

Sejarah zaman industri baru sekitar 2 abad. Namun dunia industri sudah mengalami empat kali revolusi. Revolusi pertama tahun 1784 ketika ditemukan mesin uap, yang lalu secara luas menggantikan tenaga manusia atau hewan di pabrik-pabrik, pertambangan atau alat transportasi. Revolusi kedua terjadi tahun 1870 ketika tenaga listrik mulai digunakan secara massif untuk membagi pekerjaan manufaktur dalam ban berjalan. Revolusi ketiga terjadi tahun 1969 setelah semi konduktor membuat perlengkapan elektronik menjadi murah. Dan kini, revolusi industri keempat sedang terjadi, yang ditandai tiga teknologi kunci: Internet of things (IoT), BigData, dan Artificial Intelegence (AI).

IoT menghubungkan semakin banyak elektronik di kehidupan kita. GPS pada telepon pintar kita, bisa memberi tahu rumah kita ketika kita pulang, sehingga mengaktifkan pendingin ruang, menghidupkan mesin pembuat kopi hingga penanak nasi. Pintu pagar rumah kita yang dilengkapi CCTV bisa mengenali kita secara otomatis dengan memadukan pengenal wajah dan informasi dari telepon pintar. Kalau kulkas kita “menyadari” bahwa ada isinya yang kurang (misalnya susu atau daging), dia bisa memesan sendiri ke supermarket terdekat secara online.

Sementara BigData mengumpulkan informasi dari berbagai perangkat IoT dan menggabungkannya dengan informasi dari media social maupun internet. Komputer BigData ini bisa tersebar di mana-mana dalam jaringan computer awan (Cloud). Lalu, tanpa kita sadari, kita mengirim rute jalan yang kita lalui atau tempat yang kita kunjungi misalnya ke Google. Google sangat tahu mana jalan yang paling ramai dan potensial untuk berbagai bisnis. Media social juga mengumpulkan trending topic apa saja untuk dianalisis guna keperluan berbagai hal, termasuk untuk memenangkan pemilu.

Ketika data sudah begitu besar, tak mungkin lagi menganalisisnya secara manual. Maka kini makin banyak dikembangkan piranti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Meski mesin catur yang jenius sudah ada 30 tahun yang lalu, namun kini kecerdasan juga tertanam pada mobil tanpa sopir (driverless car), drone yang bisa mandiri mencari sasaran, dan robot yang sangat mirip manusia, bahkan lebih “cerdas”.

Akibat revolusi ini, dalam beberapa tahun mendatang akan terjadi pergeseran pekerjaan secara besar-besaran. Perusahaan ojek-online yang baru tumbuh dan meraksasa, boleh jadi dalam beberapa tahun mendatang akan tergantikan dengan ojek tanpa driver menyusul kesuksesan taksi tanpa sopir. Di masa lalu, mesin uap juga telah menggeser jutaan buruh. Penerangan listrik menggeser jutaan petugas penyala obor penerangan jalan. Sentra Telepon Otomat menggeser jutaan petugas switching Telkom. Maka kini IoT, BigData dan AI akan menggeser jutaan sekretaris, sopir, penerjemah, satpam, bahkan guru!

Maka orang lalu bertanya, di mana peran Islam dalam kondisi seperti ini? Apakah revolusi sejenis ada contohnya di masa lalu yang Islam membuktikan mampu mengendalikannya?

Tentu saja, sejarah peradaban Islam pernah mengalami revolusi yang mempengaruhi produksi dan menggeser sejumlah profesi. Revolusi itu adalah revolusi pertanian.

Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī (828-896) menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak “lahir” hingga matinya, juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu. Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya yang mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas. Di Barat teknik ini disebut “Nabatean Agriculture”.

Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait air, baik untuk irigasi atau menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.

Pada abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi. Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.

Ini adalah sedikit fakta yang terkait langsung dengan pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain. Alat-alat prediksi cuaca, peralatan mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan. Kombinasi sinergik semua ini menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu layak untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.

Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama. Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.

Revolusi ini ditunjang berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.

Di sinilah, kita belajar, bahwa revolusi produksi, termasuk revolusi industri, seharusnya bisa dikendalikan sehingga tidak menghancurkan lingkungan, tidak merusak tananan sosial, dan tidak menjajah bangsa lain. Melimpahnya produksi dan berkurangnya kebutuhan tenaga manusia, seharusnya digunakan manusia untuk melakukan hal-hal lain yang lebih bermakna. Mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa diwakilkan ke mesin, robot atau komputer, semisal lebih banyak ibadah, menghafal Qur’an, berdakwah, rekreasi dengan keluarga, mengasuh anak, hingga merawat orang tua.

Manusia mendapat tugas utama untuk ibadah dan seorang mukmin memiliki misi untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Tentu saja, ibadah semisal sholat, tidak bisa diwakilkan. Tidak boleh juga tugas seorang imam atau khatib dibebankan pada robot, sekalipun hafal Qur’an dan bacaannya merdu. Berbagai pekerjaan kreatif yang melibatkan emosi seperti seni, inovasi teknologi dan ijtihad fiqih juga tidak bisa dilakukan oleh komputer. Komputer hanya menjadi alat pendukung saja.

Namun semua ini hanya bisa dilakukan jika umat Islam menjadi umat terbaik di dunia. Hanya dengan terbaik itu mereka lebih berwibawa untuk menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar serta [mengajak] beriman kepada Allah. Tanpa berkualitas terbaik, revolusi industri 4.0 akan terlepas dari tangan umat Islam seperti revolusi industri sebelumnya.

Agar kita menjadi yang terbaik itu, maka umat Islam wajib mewarisi sifat-sifat unggul yang pernah dimiliki para Nabi dan generasi salaf, yaitu berintegritas (shiddiq), pembelajar (fathonah), tuntas bekerja (amanah) dan berani menyampaikan kebenaran (tabligh). Inilah habbit unggul yang diperlukan untuk menghadapi revolusi industri 4.0 yang suka tak suka sudah memasuki rumah-rumah kita.

Teknologi jika tidak di tangan umat Islam, cenderung menjajah. Umat Islam tanpa teknologi cenderung terjajah. Diharapkan jika teknologi dikembangkan dan dikendalikan oleh umat Islam, akan membebaskan dunia dari penjajahan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen + 17 =