Connect with us

Bagaimana sesungguhnya konsep Islam dalam memenuhi berbagai kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, dan tanggung jawab siapa agar kebutuhan-kebutuhan pokok dapat dipenuhi?

Bekerja, Wajib bagi Laki-laki

Bekerja diwajibkan oleh Islam kepada kaum laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, atau kaum laki-laki yang memiliki tanggungan nafkah atas keluarga maupun orang-orang yang ditanggungnya. Oleh karena itu melalaikan tanggungan nafkah yang dibebankan kepada pihak laki-laki atas orang-orang yang ditanggungnya merupakan perbuatan dosa, sama seperti melalaikan perbuatan wajib lainnya dalam ajaran Islam. Sama seperti melalaikan kewajiban shalat, shaum, zakat, haji, mengemban dakwah, menuntut ilmu, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain. Allah SWT berfirman :

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segenap penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya.” (QS. Al-Mulk : 15)

Ayat ini mendorong manusia untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pokok.

Sedangkan firman Allah SWT :

’

 “Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik/pantas (ma’ruf). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya.” (QS. Al-Baqarah : 233)

 

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS. At-Thalaq : 6)

Adalah ayat-ayat yang dengan gamblang menunjukkan kewajiban atas para suami/ayah terhadap orang-orang yang ditanggungnya (seperti isteri dan anak-anaknya), agar orang-orang itu tercukupi kebutuhan pokoknya.

Begitu pula bahwa seorang laki-laki wajib menjamin dan bertanggung jawab terhadap ayah ibunya jika mereka berdua dalam keadaan kekurangan atau sudah tidak mampu lagi menghidupi diri mereka. Rasulullah saw bersabda kepada seorang laki-laki yang bertanya mengenai persoalan ini : “Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu.” (HR. Ibnu Majah)

Jika dijumpai orang-orang yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, padahal ia mampu (dalam pekerjaan maupun penghasilan), maka negara dalam hal ini berhak untuk memaksanya agar memberikan nafkah yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Bahkan negara dalam hal inipun tidak berlaku pasif, menyerahkan urusan ini kepada masing-masing individu. Perhatikanlah bagaimana sikap dan tindakan negara (Khilafah Islamiyah) di masa Umar bin Khaththab menjadi Kepala Negaranya (Khalifah). Suatu hari ia memasuki masjid di luar waktu shalat lima waktu, dan menjumpai dua orang yang tengah berdoa kepada Allah SWT. Kemudian ia bertanya : ‘Apa yang sedang kalian kerjakan, sementara orang-orang (lain) sedang sibuk bekerja ?’ Mereka menjawab : ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.’ (Mendengar jawaban seperti itu), Umarpun marah, seraya berkata : ‘Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak (dinar mas dan dirham perak).’ Lalu Umar mengusir mereka keluar masjid, sembari memberikan kepada mereka setakar biji-bijian, dan berkata kepada mereka : ‘Tanamlah dan bertawakalah kepada Allah’

Dari sini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwasanya wajib atas Waliyul Amri (pemerintah) memberikan dan menyediakan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat (ri’ayatu as-syu-un). Itulah kewajiban pertama yang diputuskan oleh syariat Islam, yang dipelihara, dijaga dan diterapkan oleh negara di masa Daulah Islamiyah berada pada puncak-puncak kejayaannya. Oleh karena itu negara wajib menyediakan lapangan kerja yang mencukupi seluruh jumlah para pencari kerja, agar tingkat pengangguran dapat ditekan serendah mungkin. Agar setiap laki-laki yang bekerja dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, serta kebutuhan hidup orang-orang yang ditanggungnya.

Lalu, bagaimana jika seorang individu tidak mampu bekerja (karena cacat atau sakit ataupun usia tua) dan tetap tidak mampu mencukupi nafkah atas orang-orang yang ditanggungnya (karena fakir, miskin dan lain-lain) meskipun ia sudah bekerja?

Kewajiban Kerabat dan Masyarakat

Apabila keadaan ini terjadi, maka Islam mengalihkan kewajiban nafkah itu dengan dibebankan kepada para kerabatnya (lihat ,QS. Al-Baqarah : 233)

Jadi seorang anak, dalam hal ini bertanggung jawab terhadap ibu bapaknya, seorang kakak atas adik-adiknya, dan seorang adik (laki-laki) atas kakaknya (yang perempuan), seorang paman (dari ayah) atas kemenakannya, dan seterusnya.

Islam mewajibkan dan mendorong orang-orang kaya untuk menyantuni orang-orang miskin yang tidak mampu, siapapun orang-orang miskin itu. Sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan pada harta-harta mereka terdapat hak untuk orang-orang yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian.” (QS. Adz-Dzariyat : 19)

Disamping itu Islam memberikan pujian yang amat tinggi serta kedudukan yang mulia, terhadap orang-orang yang memberikan shodaqoh, infaq, hibah, hadiah, waqaf dan lain-lain terhadap orang-orang yang tidak mampu.

“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Akan tetapi jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, dan Allah pasti menghapus kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Al-Baqarah : 271)

Sabda Rasulullah saw :

“Ada tujuh golongan yang akan memperoleh perlindungan Allah pada hari dimana tidak ada lagi tempat berlindung disana … (salah satunya) adalah seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, sehingga (seolah-olah) tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Para sahabat Rasulullah saw sebagai generasi terbaik yang menerapkan ajaran dan sistem Islam dalam persoalan ini, telah menerapkan secara sempurna, sampai-sampai mereka dipuji oleh Allah SWT atas kepedulian mereka terhadap sahabat lainnya serta pengorbanan mereka yang luar biasa dalam memberikan hartanya kepada saudara-saudaranya dari kalangan kaum muslimin lainnya. Firman Allah SWT :

“Dan mereka (kaum Anshar) lebih mengutamakan (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka itu dalam kesusahan….. “ (QS. Al-Hasyr : 9)

Kaum muslimin adalah orang-orang yang menjalani kehidupan bersama antar mereka sesuai dengan apa yang diperintahkan Islam terhadap mereka. Mereka saling tolong menolong, saling mengasihi, saling menjaga hubungan satu dengan yang lainnya, termasuk saling memperhatikan dan peduli dengan lainnya dalam perkara-perkara pemenuhan kebutuhan pokok. Hubungan ini dilakukan antar sesama muslim antar masyarakat, terhadap orang-orang yang amat membutuhkan, sehingga masyarakat sendiri terdorong untuk mengatasi kefakiran dan kemiskinan di wilayahnya. Sistem pemenuhan antar individu ini paling tidak dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh individu tertentu.

Namun, bagaimana jika sistem antar individu ini pun belum berhasil menutupi kekurangan-kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok?

 

Negara Sebagai Pilar Terakhir

Islam telah mengembalikan seluruh persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh individu dan masyarakat, dengan menyerahkannya kepada negara (khalifah/kepala negara). Dalam hal ini tidak ada alasan bagi negara untuk melalaikan kewajibannya dalam memelihara dan mengurus urusan masyarakat. Sebab ia telah diberi wewenang oleh Allah SWT untuk menerapkan hukum Islam dalam sistem ekonomi, khususnya jaminan atas pemenuham kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya. Dan Allah SWT sudah mempersiapkan dunia dan seisinya ini untuk dijadikan sumber-sumber yang diperlukan bagi negara untuk memelihara dan mengatur urusan manusia. Termasuk perangkat-perangkat hukum dan sistem ekonominya telah ditawarkan oleh Allah SWT, jika saja manusia (kaum muslimin) itu bersedia beriman dan mentaati Allah SWT dengan jalan menerapkan sistem/hukum syariat Islam. Karena hanya Islamlah yang meghasilkan kesempurnaan dan keadilan. Bukan sistem ekonomi atau ideologi lainnya yang menjadi produk buatan manusia yang lemah dan rusak.

Prinsip dasar seorang Kepala Negara (khalifah dalam Khilafah Islamiyah) sebagai Imam, pemimpin bagi seluruh rakyatnya, dan bertanggung jawab terhadap seluruh persoalan-persoalan rakyatnya telah ditetapkan oleh sabda Rasulullah saw :

“Seorang Imam (kepala negara) adalah pemimpin (yang mengatur dan memelihara) urusan rakyatnya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang dipimpinnya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw, selaku kepala negara (bukan sebagai nabi dan rasul) telah mengalihkan tanggung jawab mengenai pemenuhan kebutuhan pokok rakyat kepadanya, jika orang-orang yang wajib memenuhinya itu tidak mampu. Beliau menekankan kewajibannya sebagai kepala negara atas rakyatnya dengan bersabda :

“Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal, serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau orang-orang terlantar, maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara), sebab aku adalah wali (penanggung jawab)-nya.” (HR. Ashabu as-Sittah)

Mungkin orang akan bertanya, dari mana negara yang tidak memiliki pendapatan atau devisa yang besar dapat menyantuni, mengatur dan mengurus urusan rakyat? Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti itu menunjukkan bahwa gambaran sistem ekonomi Islam yang dimiliki oleh ummat benar-benar nol, begitu pula yang dimiliki oleh para penguasa kaum muslimin. Sehingga bayangan yang ada dalam benak mereka hanya mengandalkan pajak, yang jelas-jelas amat memberatkan dan menyengsarakan rakyat banyak. Padahal sistem ekonomi yang berbasis pada pajak adalah sistem ekonomi yang diperkenalkan dan telah diterapkan oleh negara-negara yang menjadi gembong sistem Kapitalis, disamping menjadi bagian dari sistem kerajaan yang pernah hidup di negeri kita pada masa lampau.

Mereka tidak mengetahui bahwasanya sistem Islam juga telah mengatur sistem pemilikan (ada pemilikan individu, pemilikan masyarakat/kaum muslimin secara bersama yang dikelola oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ada pula pemilikan negara). Juga mereka tidak pernah membayangkan bahwa sistem ekonomi Islam terkait pula dengan apsek-aspek lain yang harus diterapkan secara terintegrasi dalam Islam, karena berhubungan dengan konsekwensi-konsekwensi perekonomian.

Perhatikan saja, istilah ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta rampasan), jizyah (pungutan tahunan atas orang non muslim yang memperoleh jaminan di dalam masyarakat Islam), kharaj (pungutan tahunan atas tanah yang ditaklukan oleh kaum muslimin), dan lain-lain.

Sungguh jika saja umat ini memahami sistem Islam –yang mengatur seluruh aspek kehidupan secara sempurna– mereka akan menjumpai keadilan dan keagungan yang luar biasa, yang jauh berbeda dengan sistem lain (seperti Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme ataupun sistem yang berdasarkan suatu ideologi tertentu buatan manusia yang hanya menghasilkan keresahan, kedzaliman, dan kehancuran). Dan amat disayangkan sikap para penguasa kaum muslimin yang buta dan enggan dengan penerapan sistem Islam, disebabkan rasa khawatir dan ketakutan yang amat berlebihan. Padahal mereka di sisi Allah tanggung jawabnya amat berat. Sabda Rasulullah saw :

“Sungguh Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya (dengan hukum-hukum Islam) atau bahkan menyia-nyiakannya.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 5 =