Connect with us

Ekonomi

Pengelolaan Zakat Dalam Khilafah

|Oleh: Ummu Hanif (Ibu Peduli Generasi)

 

Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim memiliki potensi zakat yang besar. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bambang Brojonegoro, potensi zakat di Indonesia sebesar 217 Triliun (Rri.co.ad).

Ini jumlah yang sangat besar, yang terkumpul baru 2,73 T yaitu sekitar 1%. Di Indonesia zakat dikelola oleh Bazarnas yang bertugas menghimpun dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah. Tetapi, pelaksanaannya belum berjalan secara efektif, salah satu faktornya minimnya pengetahuan masyarakat tentang kewajiban zakat hanya seputar zakat fitrah. Padahal, ada zakat mal atau harta yang meliputi zakat perniagaan, zakat hewan ternak, zakat pertanian. Jika zakat itu terkumpul, mampu berperan bagi perekonomian Indonesia. Kondisi ini ditambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah yang lemah dan tidak transparan, harus diakui bahwa Bazarnas yang dibentuk pemerintah masih jauh dari prinsip profesional dan produktif (Kompasina, 14/3/2017).

Pengelolaan zakat harusnya mencontoh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Pemungutan dan pengelolaan zakat diserahkan pada amil zakat yang mendapat wewenang penuh dari Rasulullah. Mereka bertugas mencatat kaum muslimin yang wajib mengeluarkan zakat dan mendistribusikan zakat tersebut kepada mereka yang berhak. Dalam Islam zakat dipungut oleh amil zakat dan tidak dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah Muzakki menentukan kadar zakat yang harus mereka keluarkan dibantu langsung oleh amil.

Amil zakat sebagaimana menurut Imam As-Syaukani dari Mazhab Zaidiyah menyatakan, “Amil adalah orang yang diangkat menjadi wali dan memungut zakat, yang diutus oleh Imam atau Khalifah (kepala negara) untuk mengumpulkan zakat. mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat itu, jadi amil zakat adalah orang atau wali yang diangkat oleh Imam atau Khilafah (kepala negara) untuk memungut zakat dari para muzakki. Dan mendistribusikan kepada para mustahiqnya. Tugas yang diberikan kepada amil tersebut merupakan wakalah (mewakili) dari tugas yang semestinya dipikul oleh Imam atau Khalifah. Sebab hukum asal tugas mengambil dan mendistribusikan zakat tersebut merupakan tugas Imam atau Khalifah.” Allah Swt berfirman,

خُذۡمِنۡ اَمۡوَلِهِمۡ صَدَقَۃً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيۡهِِمۡ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. ” (QS. At-Taubah: 103).

Konteks perintah ayat ini, khudz min awwalihim shodaqotan (ambillah sedekah atau zakat dari sebagian harta mereka) bersifat memaksa, dan perintah tersebut ditujukan kepada Nabi saw dalam kapasitas baginda sebagai kepala negara Islam di Madinah. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para Khalifah sepeninggalan beliau. Dari masa Rasulullah Saw dan para sahabat, zakat yang dikumpulkan oleh amil zakat didistribusikan kepada delapan asnaf sebagaimana firman Allah Saw,

اِنَّمَا ااصَّدَقٰتُ لِلۡفُقَرَٓاءِوَالۡمَسٰكِيۡنِ وَالۡعَامِِلِيۡنَ عَليۡهَا وَلۡمُءَلَّفَۃِ قُلُوۡبِهُمۡ وَفِی الِّقَابِ وَالغَارِمِيۡنَ وَفِيۡ سَبِيۡلِ ﷲ وَاِبۡنِالسَّبِيۡلِۡ فَرِيۡضَۃًمِّن ﷲ وَﷲعَلِيۡمٌ حَكِيۡمٌ

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).

Persoalan zakat adalah persoalan yang harus sepenuhnya dikembalikan kepada Allah, yang berarti harus merujuk pada dalil syariat, atau harus manshus (dinyatakan di dalam nash). Adapun sebagian orang berpendapat bahwa tujuan hukum syariat zakat adalah untuk mendistribusikan harta kekayaan di tengah masyarakat , dan agar zakat tersebut tidak habis dalam sekali distribusi. Karena itu, pengelolaan dana zakat tersebut harus produktif. Dengan kata lain, paradigma zakat harus diubah, dari paradigma konsumtif, menjadi produktif.

Misalnya dalam bentuk investasi atau dikembangkan melalui usaha bisnis untuk menyelesaikan problem kemiskinan. Pengelolaan zakat seperti ini tidak dibangun sedikit pun berdasarkan nash syariat, baik Alquran, Sunnah, Ijmak shahabat dan Qiyas. Tetapi murni logika maslahat. Logika tersebut dibangun berdasarkan pemahaman yang salah terhadap problem kemiskinan yang menimpa umat Islam saat ini, yang seolah-olah dianggap persoalan individu semata. Padahal, persoalan kemiskinan umat Islam atau rakyat sebuah negara adalah problem yang tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan di negara tersebut, baik sistem ekonomi kapitalis atau komunis.

Jadi pengelolaan zakat untuk menuntaskan kemiskinan hanya semata-mata dengan zakat, meskipun dengan cara memproduktifkannya, melalui investasi dan usaha tidak akan menuntaskan problem kemiskinan. Walhasil zakat merupakan ibadah mahdhoh yang murni menjadi otoritas Allah. Maka, menjadikan logika maslahat sebagai pijakan produktifitas dana zakat jelas keliru. Dalam hal ini Imam Syafii sebagaimana dikutip Ibn Qudamah, “Siapa saja yang menggunakan logika istihsan (untuk menarik hukum) berarti dia telah membuat syariat.”

Wallahualam