Connect with us

Ekonomi

Kolonialisasi China Melalui OBOR Sudah Berjalan

Oleh: Mustofa A. Murtadlo
(Forum Komunikasi Ulama Aswaja Jabodetabek)

Akhirnya 23 kesepakatan kerjasama antara pemerintah China dan Indonesia telah diteken di berbagai sektor usaha. Hal ini sekaligus menandai dimulainya proyek One Belt One Road (OBOR) di Indonesia. Penandatanganan kesepakatan kerja sama itu disaksikan langsung oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara Forum Bisnis Indonesia-China, Jumat (26/4). (https://koran.bisnis.com). Momen itu juga bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kedua One Belt One Road yang resmi dibuka oleh Presiden Cina Xi Jinping Jumat pagi waktu setempat.
Proyek OBOR atau yang juga dikenal Belt and Road Initiative (BRI) merupakan kebijakan luar negeri yang diinisiasi oleh China untuk membuka keran konektivitas dagang antarnegara di Eropa dan Asia melalui jalur sutra maritim. OBOR (BRI) menjadi mimpi besar China menjadi digdaya. Gagasan OBOR menjadi proyek besar China untuk masuk ke negara-negara berkembang, kaya sumber daya alam, dan yang mudah bertekuk lutut. Konsep OBOR juga menjadi master plan pembangunan jalur perdagangan Asia ke Afrika dan Eropa. Indonesia menjadi sasaran dalam lingkaran OBOR. Akankah OBOR menguntungkan Indonesia? Ataukah justru menjadikan Indonesia sebagai jajahan baru dan bertekuk lutut dalam hegemoni China secara politik dan ekonomi?

OBOR Sudah Nyala ke Indonesia

Pada tahun 2013, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengumumkan gagasan One Belt One Road (OBOR) yang merupakan inisiasi strategi geopolitik Tiongkok dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan yang tersebar di kawasan Eurasia. Visi dari OBOR itu sendiri ialah meningkatkan kesejahteraan dan perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur, baik darat maupun laut, yang memadai di seluruh kawasan yang ditargetkan.

Inisiatif OBOR ini disebut sebagai “ekonomi jalur sutera dan jalur sutera maritim abad 21” (Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road). “Belt” artinya jalur transportasi jalur jalan darat dan kereta api (the Silk Road Economic Belt), dan “Road” artinya jalur laut/maritim. istilah One Belt One Road (OBOR) akhirnya diperhalus oleh pemerintah China menjadi Belt and Road Initiative (BRI) lantaran khawatir kata ‘one’ bisa disalah-artikan.
Namun tetap saja inisiatif BRI ataupun OBOR ini oleh para pengamat barat dilihat sebagai Trojan horse untuk Dominasi Tiongkok dalam jaringan perdagangan global dan ekspansi militer yang berpusat di Beijing. (lihat gambar)

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR Pada 14-15 Mei 2017 di Beijing, Tiongkok, terdapat sebuah pertemuan antara 29 Kepala negara dan 50 delegasi dari negara anggota OBOR dan 50 delegasi. Pertemuan tersebut membahas kerjasama ekonomi dan pengembangan proyek infrastruktur.

Dalam suatu kesempatan Presiden Rupublik Indonesia Ir. Joko Widodo, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara Poros Maritim dengan potensi konektifitas antara pulau, pengembangan Industri perkapalan dan kekayaan sumber daya alam ikan. Kemudian Indonesia melihat bahwa koneksitas yang dimiliki oleh OBOR dapat mempengaruhi kegiatan dan perkembangan ekonomi maritim.

Menindaklanjuti hal di atas, rombongan delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Wapres Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri, Retno L.P. Marsudi, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Natsir, berangkat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kedua OBOR (One Belt One Road) di Beijing, China. Turut serta dalam pertemuan tersebut Kepala Sekretariat Wapres Mohamad Oemar, Staf Khusus Wapres Bidang Ekonomi dan Keuangan Wijayanto Samirin, Tim Ahli Wapres Sofyan Wanandi dan M. Ikhsan serta M. Awal Chairuddin. (https://ekonomi.bisnis.com)

Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan proyek kerja sama Indonesia dan China One Belt One Road (OBOR) atau yang dikenal dengan sebutan empat koridor siap dilaksanakan. Hal itu ditandai dengan ditekennya 23 Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/Mou) antara pebisnis Indonesia dan China setelah pembukaan KTT Belt and Forum Kedua di Beijing, Jumat (26/4/2019).
Dari 23 proyek yang diteken, nilai investasi dari 14 MoU bernilai total US$14,2 miliar. Meski demikian, Luhut menegaskan bahwa nilai tersebut bukanlah hutang yang harus ditanggung pemerintah. Hal itu bisa terjadi karena hampir semua proyek yang termasuk dalam Koridor Belt and Road sifatnya business to business (B to B), bukan governor to governor (G to G).
Karena itu, Luhut mengatakan pihaknya akan berusaha maksimal untuk mempermudah perizinan kepada pengusaha China yang berminat menanamkan modal di Indonesia.
“Kita [proyek Empat Koridor Belt and Road] hampir tidak ada urusan pada debt atau utang nasional,” katanya, Sabtu (27/4/2019), (https://koran.bisnis.com)

Tak Ada Untung Bagi Indonesia

Bagi China ada tiga keuntungan besar dengan tersalurnya dana cadangan devisa yang melimpah. Pertama, dana tersebut tetap produktif. Kedua, tersedia lapangan kerja baru untuk tenaga kerjanya yang juga melimpah. Ketiga, memperkuat pengaruh China dalam geopolitik global.

Adapun bagi Indonesia dan negera yang telah melakukan kerja sama, lebih banyak buntungnya. Hal itu tampak dari beberapa jebakan yang sudah disiapkan China untuk mencengkeram negara tujuan kerja sama OBOR:

Pertama, pinjaman itu tidak gratis. Proyek-proyek tersebut mempersyaratkan kerjasama dengan perusahaan China. Alat mesin, barang-barang produksi, semua dari China. Dan yang lebih penting lagi melibatkan tenaga kerja. Kerjasama semacam ini disebut sebagai Turnkey Project. Pemerintah setempat tinggal “menerima kunci,” karena semuanya sudah dibereskan China.

Selain membanjirnya tenaga kerja China, proyek OBOR juga banyak menimbulkan petaka bagi negara bantuan. Fenomena ini disebut sebagai jebakan utang China. The China’s Debt Trap.

Kedua, gagal bayar proyek diserahkan ke China. Pemerintah Srilanka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam Hambantota karena tidak bisa membayar utangnya. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan di bawah kendali China, pelabuhan itu akan dipergunakan sebagai pangkalan kapal selam untuk mengontrol kawasan di Samudera Hindia, dan Laut China Selatan.

Di Afrika, China juga berhasil mengambil-alih sebuah pelabuhan di Djibouti karena tidak bisa membayar utang. Langkah ini membuat kesal Amerika Serikat (AS) karena Djibouti menjadi pangkalan utama pasukan AS di Afrika. “Beijing mendorong negara lain mempunyai ketergantungan utang, dengan kontrak-kontrak yang tidak jelas, praktik pinjaman predator, kesepakatan korup yang membuat negara-negara lain terlilit utang,” kecam Menlu AS Rex Tillerson.

Ketiga, wilayah jajahan baru. Pemerintah Indonesia jika tidak paham upaya kolonilisasi China melalui OBOR, serta tidak menyiapkan diri menolaknya maka nasib Indonesia bisa saja sial. Indonesia hanya akan menjadi keran bahan baku bagi produsen-produsen global. Kondisi tersebut dengan praktik VOC atau Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda jilid II.

Keempat, penguasaan SDA dan ekonomi. Jika OBOR dibiarkan, dalam jangka waktu ke depan, Indonesia berpotensi besar dalam orbit ekonomi China. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia, banjirnya produk China hingga mematikan produk lokal, menyempitnya lahan dan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa ini, bisa terjadi. Indonesia yang kaya, akan menjadi miskin, pengangguran tidak teratasi maksimal, dan bahaya krisis lahan ekonomi untuk rakyat, akibat ekspansi ekonomi China.

Kerakusan dan Ambisi Kolonialisasi China

Kepentingan OBOR (One Belt One Road) di negeri kaum muslimin tidak bisa dianggap remeh. Kepentingan itu murni kerakusan dan kolonialisasi negara pejajah, terutama China. Memang mereka tidak hadir dalam penjajahan fisik, namun lebih mencekik, yaitu melalui ekonomi dan politik. Inisiatif OBOR China pun mendapat perhatian dari Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Artinya, ambisi China ini tercium gelagat tidak beresnya.

Kecurangan Pemilu 2019, penandatanganan MOU di saat injuri time, patut diduga adalah bagian dari skenario China untuk memaksakan rencana proyek One Belt and One Road (OBOR) atau (BRI) sebagai manifestasi penjajahan China. Melalui proyek OBOR ini, China akan menempatkan 500 juta penduduknya di negara-negara belahan dunia yang menjadi mitra OBOR. Tumbuh suburnya proyek reklamasi pantai dan pembangunan apartemen di berbagai daerah, patut dicurigai sebagai tempat penampungan Tenaga Kerja Asing (TKA). Dimana Indonesia akan menjadi sasaran utama proyek OBOR China.
Diduga kuat, bahwa saat ini diperkirakan tidak kurang dari 3 juta TKA China yang sudah ada di Indonesia. Kedatangan mereka pada umumnya tidak melalui pintu imigrasi atau kedatangan mereka dengan cara yang tidak melalui jalur resmi. Sebagian besar dari gestur tubuh mereka itu adalah patut diduga adalah para militer. Bahkan, ada video yang memperlihatkan sekelompok dari mereka menggunakan seragam militer.
Jadi sangat jelas motivasi memaksakan kemenangan dengan cara curang sekalipun, karena mereka merasa sudah ada backup 3 juta TKA China, demi kepentingan proyek OBOR. Dukungan China ini bukan tidak mungkin disertai dengan politik uang dan janji jabatan dan sahwat dunia lainnya.

Sebagai upaya menghilangkan kritik bahwa kebijakan infrastruktur unggulan China memicu pembengkakan utang secara kurang transparans, maka China telah mempromosikan skema pembagian ulang (rekalibrasi) 23 proyek pembangunan infrastruktur dalam Konferensi Tingkat Tinggi One Belt and One Road (KTT OBOR), yang dihadiri sejumlah kepala negara di Beijing, China, 26 April 2019, yang juga dihadiri oleh Wapres Yusuf Kalla, sejumlah menteri serta pengusaha. Rekalibrasi ini hanyalah kamuflase untuk menurunkan tekanan dunia.
Sudah diketahui kepentingan ekonomi negara Barat dan Timur saling berkelindan satu sama lain. Satu sisi mereka berseteru, di sisi lain bersatu. Untuk kepentingan penjajahan di negeri-negeri Islam mereka kompak dan berbagi tugas. China saja ingin berambisi mengulangi masa emas sejarah peradabannya dalam bentuk OBOR. Hal ini bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam yang memiliki aqidah dan ideologi yang sahih. Kembali membangun peradaban Islam yang kedua sungguh bukan hal mustahil. Apalagi menegakkan kembali Khilafah Islamiyah yang merepresentatif penerap syariah kaffah.

Menyibak Tabir OBOR

Professor Dr. Joshua Eisenman (University of Texas-Austin) memperingatkan bahwa OBOR harus dilihat sebagi upaya China untuk membuat era globalisasi sinosentris baru menggunakan alat-alat kenegaraan tradisional China sebagaimana bentuk inisiatif model ekonomi dan pengaturan pembiayaan utang. (Joshua Eisenman, “Contextualizing China’s Belt and Road Initiative”, testimony before the U.S.–China Economic and Security Review Commission, U.S. Congress, January 19, 2018, https://www.uscc.gov/sites/default/files/Eisenman_USCC%20Testimony_20180119.pdf)

Melalui Belt and Road Initiative (BRI – OBOR), China berupaya untuk membentuk kembali ekonomi dan geopolitik landscape di kawasan Eurasia dan Samudra Hindia dengan gelombang investasi infrastruktur yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekawatiran Amerika, Australia, Eropa, dan India, tentang BRI (OBOR) semakin meningkat. Berikut peta menyebaran BRI / OBOR China

Motivasi OBOR China berhasil maju dan meluas sebagai bentuk kepentingan geostrategis dan ekononomi. Mulai dari keamanan energi (energy security) hingga kontraterorisme. Mulai meningkatkan ekspor China hingga mempopulerkan mata uang China, Yuan.
Ambisi OBOR terbagi menjadi beberapa kepentingan China. Tentu saja China lebih diuntungkan daripada negara mitra.

Infrasturktur. Tujuannya adalah mempromosikan pengembangan infrastruktur di luar negeri melalui jaringan koridor konektivitas baru yang menghubungkan ekonomi negara-negara tetangga ke China. Termotivasi oleh perkiraan bahwa Asia akan membutuhkan investasi infrastruktur melebihi $ 1,5 triliun per tahun selama 12 tahun ke depan “untuk mempertahankan momentum pertumbuhan.

Penyaluran modal. Ketika liberalisasi ekonomi Tiongkok mulai mendapatkan momentum di awal 1990-an, negara itu menjadi magnet bagi investasi asing langsung (FDI- foreign direct investment), menghasilkan surplus neraca modal besar-besaran. Jauh lebih banyak modal mengalir ke China daripada mengalir keluar. Sejak pertengahan 2000-an, lanskap ini sudah mulai berubah. Ketika kontrol modal yang dipaksakan pemerintah mereda, investor, pengusaha, dan perusahaan milik negara Tiongkok menjadi lebih kaya dan mulai mencari keuntungan yang lebih besar di luar negeri.

Mengekspor Kelebihan Kapasitas. Keputusan Beijing untuk memberlakukan paket stimulus besar-besaran $ 600 miliar setelah krisis keuangan global 2008 membantu untuk menghasilkan peningkatan substansial dalam kapasitas berlebih China karena “para pejabat menyekop uang tanpa pandang bulu di perusahaan-perusahaan negara dalam infrastruktur dan industri berat.”

Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi. ekonomi Tiongkok telah melambat. Setelah rata-rata 11 persen pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dari 2002 hingga 2008, pertumbuhan rata-rata mendekati 7 persen dalam delapan tahun sejak itu. Sementara meningkatkan ekspor bukanlah tujuan utama BRI, China berniat untuk meningkatkan produksi dan ekspor barang-barang manufaktur Tiongkok kelas atas dalam upaya untuk meningkatkan rantai nilai. Dengan meningkatkan kekayaan ekonomi negara-negara tetangga terdekatnya, Beijing berharap dapat menciptakan pasar ekspor baru. Sementara itu, mengikat ekonomi regional ke pasar China melalui transportasi koridor dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi eksportir China sambil mengurangi biaya impor.

Keamanan Energi. sejak pertengahan tahun 2000-an, para pejabat China secara pribadi dan secara publik merasa sedih atas “dilema Malaka” mereka. sekitar 80 persen dari impor minyak China melintasi Samudra Hindia dan jalur pergantian angkatan laut di selat Malaka, seolah-olah membuat mereka rentan terhadap larangan selama masa perang. Sebagai hasilnya, kepemimpinan Tiongkok telah memprioritaskan diversifikasi sumber impor energi Tiongkok dan menciptakan koridor transportasi darat dan laut alternatif.

Mengembangkan Barat. pertumbuhan cepat yang disaksikan oleh ekonomi Tiongkok selama seperempat abad terakhir telah didistribusikan secara tidak merata secara internal. keajaiban ekonomi yang telah mengubah bagian-bagian pantai timur China belum mencapai provinsi baratnya yang lebih terpencil. sejak meluncurkan strategi “pergi ke barat” pada tahun 2000, Beijing telah mencurahkan banyak perhatian, investasi, dan subsidi untuk menutup celah ini, termasuk hampir $ 1 triliun dalam 300 proyek energi dan infrastruktur utama antara tahun 2000 dan 2016.

Kontraterorisme. Pejabat China memiliki pendapat bahwa kemiskinan dan kurangnya ekonomi pembangunan adalah penyebab utama terorisme. Mereka percaya bahwa dengan mengembangkan provinsi barat Xinjiang, tempat china menghadapi yang mereka sebut ekstrimis Islam separatis suku Uighur. Demikian pun China berharap mampu mengurangi ancaman terorisme dari negara tetangga seperti Afghanistan, Pakistan, dan Asia Tengah, yang kondisi negaranya dilanda ketidakstabilan politik, kemiskinan, dan peperangan.

Memopulerkan mata uang Yuan. Yuan secra bertahap tumbuh menjadi mata uang cadangan dunia sebagaimana penuturan IMF tahun 2016. Bank China berpendapat bahwa OBOR mampu membantu China untuk saat ini Yuan diterima di luar negeri.

Melawan Visi Regional Amerika. OBOR diresmikan pada saat AS sedang memajukan visi ekonominya sendiri untuk kawasan ini, Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), dan strategi keamanan regionalnya sendiri, “poros” atau “menyeimbangkan kembali” ke Asia.

Digitalisasi Jalur Sutra. OBOR membantu China tidak hanya untuk memfasilitasi pengumpulan dan penggunaan data besar di negara-negara yang berpartisipasi, tetapi juga untuk mengekspor model kontrol informasi online, pengawasan, dan penyensoran. Beijing telah mulai menyebar “pendekatan teknologinya untuk menyensor media sosial dan Firewall besarnya, juga dikenal sebagai Proyek perisai emas” ke negara-negara tetangga.

Proyek Satelit. China berencana untuk meluncurkan puluhan satelit baru untuk sistem navigasi Beidou, yang dikendalikan oleh militer Tiongkok, dan memperluas jangkauan ke banyak negara BRI.

OBOR Haram

Berdasarkan kajian mendalam berkaitan OBOR sebagai proyek ambisius China dalam hegemoni kepentingan politik dan ekonomi, maka umat Islam sebagai pemilik sah negeri ini harus menolak semua itu. Kebijakan mengundang investor asing ke Indonesia dalam ambisius pembangunan infrastruktur oleh Presiden Jokowi, yang diteruskan oleh Wapres dan sejumlah menterinya di saat injuri time, jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia.

Ancaman terbesar Indonesia yaitu tergadainya negeri ini dalam jebakan hutang dan hegemoni asing penjajah. Bukankah Indonesia ini negeri yang kaya sumber daya alam dan manusianya? Seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyatnya dan dikelola secara mandiri. Hal yang paling penting yaitu mengelola negeri ini dengan syariah yang telah Allah turunkan. Begitu pun orang-orang kafir tidak boleh menjajah dan menguasai kembali kehidupan umat Islam. Sebagaimana Allah berfirman:

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin” (An-Nisa’ [4]: 141)

Khatimah

Sudah selayaknya masyarakat Indonesia menolak proyek OBOR ini, sebagai bentuk kolonialisasi China atas Indonesia. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini, sudah selayaknya dikelola dengan aturan yang berasal dari Allah SWT, bukan justru penguasa bergandengan tangan dengan negara berideologi komunis, China, anti Tuhan.

Penerapan syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan akan membuat negeri Indonesia menjadi negara yang berdaulat, mampu mensejahterakan rakyatnya dengan karunia sumber daya alam yang melimpah. Saatnya negeri ini hidup di bawah naungan Khilafah Islamiyah ala minhaji nubuwwah, untuk menyelamatkan umat, mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, dan hidup berkah dalam ridho-Nya, sebagaimana yang dipraktekkan pada masa Khulafaur Rasyidin.