Politik
Menerima Pemberian Dari Caleg
|Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Para ulama kontemporer telah sepakat mengenai haramnya memberi atau menerima pemberian dalam rangka pemilu (al intikhaabaat), baik pemilu legislatif (al intikhabat al barlamaniyyah) maupun pemilu presiden (al intikhabat ar riasiyyah).
Para ulama tersebut hanya berbeda pendapat dalam hal alasan keharamannya.
Sebagian ulama seperti Dr Thal’at Afifi, juga ulama Lembaga Al Azhar (Muassasah Al Azhar), dan ulama Darul Ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan dengan alasan pemberian itu dianggap risywah.
Sedang sebagian ulama lainnya seperti Prof Dr Ali As Salus mengharamkan karena pemberian itu dianggap pengkhianatan terhadap syahaadah (kesaksian) yang diberikan pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. (Fahad bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan, Al Intikhaabaat wa Ahkaamuhaa fi Al Fiqh Al Islaami, hlm. 418; www.manaratweb.com).
Menurut kami, hukumnya secara syar’i memang haram, baik memberi atau menerima pemberian, namun alasan keharamannya yang lebih tepat adalah karena risywah, bukan karena pengkhianatan syahaadah (kesaksian).
Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg (atau capres) kepada para pemilih.
Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu suap adalah setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219).
Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadits dari Abdulllah bin ‘Amr RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Juga hadits dari Tsauban ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad).
Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadits di atas dengan berkata, ”Hadits-hadits ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332).
Berdasarkan keumuman dalil haramnya suap ini, maka haram hukumnya pemberian caleg, baik bagi pihak yang memberi (caleg) maupun bagi pihak yang menerima (pemilih).
Terlebih lagi, suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan Syariah Islam.
Adapun tidak tepatnya alasan haramnya pemberian caleg karena dianggap pengkhianatan syahaadah (kesaksian), karena syahaadah itu secara syar’i hanya diberikan dalam sidang peradilan (majelis al qadha), bukan di luar sidang pengadilan seperti di TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Syeikh Ahmad Ad Da’ur dalam kitabnya Ahkaamul Bayyinaat menjelaskan definisi kesaksian (syahaadah) sebagai pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan redaksi persaksian yang dilakukan di majelis peradilan. (Ahmad Ad Da’ur, Ahkaamul Bayyinaat, hlm.6)
Kesimpulannya, haram hukumnya seorang caleg memberi pemberian, sebagaimana haram pula hukumnya seorang Muslim menerima pemberian itu, baik berupa uang maupun barang. Sama saja apakah diberikan dalam rangka kampanye, maupun diberikan secara terselubung tetapi ada indikasi kuat terkait kampanye, misalnya memberikan hadiah saat pengajian atau berinfak membantu pembangunan masjid menjelang waktu pemilu.
Wallahu a’lam.