Connect with us

Politik

Pemimpin Ideal

Kriteria Pemimpin Menurut Islam

Photo: WashingtonPost

Pemilihan Presiden dan wakilnya segera menjelang. Hampir setiap lapisan masyarakat dilibatkan dan disibukkan untuk menunjukkan dukungannya kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Pidato saling menyudutkan pun kerap mewarnai proses peningkatan elektabilitas.

Sementara itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri, masih ada masyarakat yang menyimpan rasa apatisme, kekecewaaan, dan ketidakpercayaan terhadap para pemimpin bangsa ini.

Lalu, bagaimana pemimpin yang ideal itu?

Pemimpin dalam Pandangan Islam
Di dalam Islam, kepemimpinan itu biasa dikenal dengan istilah imarah, ri-asah, atau qiyadah. Semuanya bermakna sama. Islam telah melekatkan persoalan kepemimpinan ini atas diri umatnya, sedemikian rupa sehingga tidak boleh ada satu perkara pun dimana di dalamnya melibatkan tiga orang, kecuali harus ada salah seorang diantara mereka yang menjadi pemimpinnya. Rasululullah saw bersabda:

“Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin). (Musnad Imam Ahmad, Jilid III hal.177)

Ini berarti Islam telah mengajarkan berpolitik dalam perkara apa pun dengan keharusan ada seorang pemimpin di setiap perkara dan kehidupan kaum Muslim. Di dalam kehidupan keluarga ada kepala keluarga (amir al-usrah), di dalam shalat berjamaah ada imamnya, di dalam perjalanan (safar) ada pemimpin perjalanan (amir as-safar), di dalam kafilah haji/umrah ada pemimpinnya (amir al-hajj), di dalam pasukan terdapat komandannya (amir al-jaisy), dan lain-lain termasuk di dalamnya adalah kepala negara, yang di dalam sistem pemerintahan Islam dikenal dengan sebutan Khalifah atau Imam al-A’dham. Ia adalah pemimpin umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pemimpin seperti inilah yang dinyatakan oleh hukum syariat agar masyarakat tertib dengan institusi Kekhilafahan Islam, dimana diwajibkan atas seluruh kaum Muslim menegakkan dan menjaganya.

Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah r.a.:

“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah. “Para sahabat bertanya, “Apakah yang Engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka atas rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” (HR Muslim).

Dari hadis di atas, tampak bahwa Islam memiliki ciri khas tersendiri dalam perkara kepemimpinan. Yaitu keharusan adanya seorang pemimpin dalam seluruh perkara, apalagi perkara besar seperti negara. Sebab, tidak akan ada gunanya pelaksanaan suatu sistem apabila tidak ada orang yang memimpin pelaksanaan sistem tersebut.

Jabatan adalah Amanah
Kepemimpinan adalah amanat, karena seorang pemimpin adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Aspek masuliyat (pertanggung jawaban) menjadi unsur yang paling mendasar dalam kepemimpinan. Artinya, jabatan itu adalah amanat yang akan dimintai pertanggung jawaban. Wajar jika jabatan itu dapat menghantarkan pada derajat yang paling tinggi, akan tetapi bisa juga menjerumuskannya pada jurang kehinaan. Rasulullah saw bersabda:

Bahwa itu adalah amanat, dan ia di hari Kiamat akan menjadi kerugian dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan cara yang haq, serta menunaikan kewajiban yang terpikul di atas pundaknya. (HR. Muslim)

Dengan demikian, apabila masyarakat memilih dan menetapkan pemimpinnya terhadap orang yang tidak benar/tepat, ditambah lagi aspek amanat dan pertanggung jawabannya amat lemah, maka kehancuran atas tatanan kehidupan bernegara, bermasyarakat merupakan keniscayaan yang tidak terbantahkan. Rasulullah saw bersabda:

Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Para sahabat bertanya: ‘Bagaimana menyia-nyiakannya? Rasul menjawab: ‘Apabila suatu jabatan diserahkan kepada orang-orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya’. (HR. Bukhari)

Bukti atas hadits dan peringatan Rasulullah saw dapat dirasakan oleh setiap anggota masyarakat saat ini. Itu karena jabatan telah diposisikan sebagai kursi kekuasaan, kesempatan dan peluang untuk melanggengkan jabatan, tempat untuk mengeruk harta, status sosial maupun keuntungan duniawi, tanpa mempedulikan orang lain maupun masyarakat. Dan karena sikapnya itu mereka terjerumus dalam kehinan dan penderitaan. Padahal hal itu telah diingatkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi banyak kaum Muslim yang berpura-pura tidak tahu atau mendengar peringatan tersebut.

Syarat-Syarat Pemimpin Ideal
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan diridhai oleh rakyatnya. Demikian juga sebaliknya; ia juga mencintai dan meridhai rakyatnya. Kedua belah pihak saling membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah. Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan rakyatnya. Mereka berdua sama-sama berharap, dapat menjalankan seluruh sistem hukum Islam secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan ‘Auf bin Malik:

Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian. (HR Muslim).

Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemimpin yang ideal, beberapa syarat pokok mutlak harus dipenuhi. Di antaranya: Pertama, pemimpin haruslah Muslim. Jabatan kepala negara (khalifah) secara mutlak tidak diberikan kepada orang kafir. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Sebab, Allah sendiri telah melarangnya sebagaimana firman-Nya:

Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (TQS. an-Nisa’ [4]: 141).

Pemerintahan atau kekuasaan adalah jalan yang paling mudah bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memaksa rakyatnya. Oleh karena itu, kekuasaan mutlak tidak boleh diserahkan kepada kaum kafir. Sebab jika pemimpin kaum Muslim adalah orang kafir akan sangat bisa dimengerti jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya pun akan jauh dari nilai-nilai Islam. Keluarnya kebijakan yang mengancam akidah umat dan cenderung tidak proporsional adalah sesuatu yang mungkin terjadi.

Kedua, laki-laki. Diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwa rasulullah saw. pernah bersabda:

Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita. (HR al-Bukhari).

Ikhbâr (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan bagi kaum manapun yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah menunjukkan larangan terhadap kepemimpinan wanita dalam jabatan pemerintahan.

Ketiga: adil. Adil artinya secara konsisten menjalankan agamanya (bertakwa). Jadi, tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang kepala negara atau khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khalifah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah telah mensyaratkan seorang saksi dengan syarat adil. (lihat QS. at-Thalaq [65]: 2).

Keempat, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memilki wewenang untuk mengatur, bahkan sekadar mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa.

Di samping itu, seorang kepala negara tidak berada dalam bayang-bayang kekuasaan pihak lain. Artinya, tatkala khalifah tunduk patuh pada pihak lain, tidak bisa berbuat banyak untuk menolak ataupun mengatur kebijakannya sendiri, atau senantiasa diatur oleh negara lain, maka pada hakikatnya khalifah tersebut sama dengan menjadi ‘hamba’ dari penguasa yang lain. Jika kondisi ini terjadi, seorang kepala negara atau khalifah wajib diberhentikan.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang kepala negara atau khalifah tidak boleh menjadi boneka negara lain dan menjadi operator kepentingan pihak-pihak asing. Ia tidak terpengaruh oleh-atau mengekor pada-negara manapun dalam mengatur, mengurusi, dan melayani masyarakat. Kepala negara atau khalifah berkuasa penuh-dengan berlandaskan pada al-Quran dan Sunnah-untuk mengatur dan memelihara seluruh kepentingan rakyatnya.

Penutup
Patut kita renungkan akankah kita terjebak lagi untuk memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan oleh Islam? Sudah puaskah kita dipimpin oleh pemimpin yang selalu kita caci dan kita benci? Tidakkah kita berkeinginan hidup damai, tenteram, dan bahagia dibawah kepemimpinan orang-orang yang shalih lagi bertakwa? Bukankah kita berkeinginan melaksanakan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan?

Apabila demikian, kita bersama-sama harus merapatkan barisan serta menyatukan pikiran dan perasaan kita untuk berjuang bersama menegakkan syariat Islam di seluruh muka bumi ini melalui perjuangan mewujudkan pemimpin ideal, yakni seorang khalifah; pemimpin umum untuk seluruh kaum Muslim di dunia, yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, serta menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia, dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + 17 =