
Indonesia sejak awal “berdirinya” telah berulang-kali menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menentukan Pemimpin Negara pilihan rakyat, sekaligus perangkat pemerintahannya. Demikian pula di daerah, dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi ajang pergantian pimpinan daerah dan perangkat pemerintahannya. Secara periodik, pemerintahan berganti.
Namun, pergantian pimpinan atau pemerintahan tersebut, secara umum masih menampilkan kinerja yang tidak jauh berbeda. Tetap saja sistem pemerintahan khususnya dan sistem kehidupan secara umum tetap sekularisme. Tidak berubah. Permasalahan di tengah-tengah masyarakat pun masih banyak yang belum terselesaikan. Apakah pemerintahan baru dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut? Ataukah bakal menjadi pemerintahan yang singkat? Waktulah yang akan membuktikan. Pemerintahan ideal yang bagaimana yang dikehendaki Islam? Tulisan ini memaparkannya.
Pemerintahan Harus Berdasarkan Aqidah Islam
Hal utama yang menjadi bahasan saat membincangkan pemerintahan adalah untuk apa suatu pemerintahan dibangun. Secara umum, tentu saja, tujuan dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban dimana masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Bukan untuk melayani diri sendiri Ringkasnya, tujuan dibentuknya pemerintahan untuk mengurusi berbagai urusan dan keperluan masyarakat (ri’âyatu syuûnil ummah). Sampai di sini tampak bahwa persoalan ‘aturan apa atau aturan mana’ yang digunakan untuk mengurusi urusan masyarakat melalui pemerintahan itu merupakan perkara penting yang kalau keliru menetapkan hal ini berarti malapetaka.
Seperti sama-sama dipahami, aturan itu haruslah ditetapkan oleh pihak yang mengetahui dan memahami persoalan. Misal, tidak mungkin seorang yang mengerti menerima dan mempercayai resep obat yang ditulis oleh seorang petani yang tidak tahu menahu tentang kesehatan, farmasi, apalagi dunia kedokteran. Resep itu semestinya dibuat oleh pihak yang tahu betul tentang penyakit dan obatnya. Begitu pula dalam persoalan lain.
Mengikuti pemikiran seperti itu, aturan yang ditegakkan untuk mengatur manusia haruslah berasal dari Dzat yang mengetahui betul seluk-beluk dan karakteristik manusia. Dia itu hanyalah Allah SWT. Sementara manusia itu lemah. Karenanya, aturan dan hukum untuk mengatur manusia yang berasal dari Allah SWT itulah yang akan dapat mengatur manusia secara harmonis.
Aturan dari manusia untuk mengatur kehidupan manusia tidak bisa diterima. Sebab, manusia itu lemah dan terbatas. Baik dalam perkara yang dapat diindera maupun yang ghaib. Setiap orang tahu bahwa jantungnya itu senantiasa berdetak. Namun dia tidak tidak tahu persis berapa kali jantungnya itu berdetak pada menit pertama, menit kedua dan seterusnya. Ia juga tidak tahu persis berapa banyak rambut yang ada di kepalanya, berapa yang rontok sejak ia mulai baligh sampai sekarang, berapa banyak air yang telah diminumnya selama hidup. Dalam persoalan yang lebih kompleks manusia lebih kesulitan untuk menjawabnya. Mengapa manusia memiliki rasa kasihan sekaligus arogan? Mengapa memiliki rasa sayang sekaligus juga rasa benci? Mengapa memiliki rasa ingin memiliki? Mengapa ada dorongan untuk berkeluarga? Mengapa memiliki rasa takut? Apa penyebab semuanya ditinjau dari segi kimiawi? Apa hubungan sifat-sifat itu dengan oksigen, karbon dioksida, air, nitrogen, sulfur, besi dan unsur-unsur yang ada dalam tubuh manusia? Manusia tak dapat menjawabnya. Kalaupun memberikan jawaban, hanyalah bersifat dugaan, tidak pasti! Memang, manusia itu lemah dan terbatas!
Selain itu, manusia dipengaruhi lingkungan dan pengalamannya. Karena lingkungan dan pengalaman hidup manusia berbeda-beda, maka perbedaan dan pertentangan terjadi antar sesama manusia. Orang Batak menganggap sikap keras sebagai ketegasan dan sikap lembut sebagai kelemahan. Sebaliknya orang Jawa Tengah menganggap sikap sebagai kasar dan lembut sebagai santun. Orang Indonesia menganggap orang yang memegang kepalanya sebagai kurang ajar, sedangkan orang Arab menganggap memegang janggut orang sebagai penghormatan dan kasih sayang.
Bagi seorang muslim, tidak layaknya aturan manusia untuk manusia juga didasari petunjuk Allah SWT. Dia berfirman:
“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah [2] : 216).
Tidak ada satu pun yang terjadi di manapun, dan apapun yang dilakukan manusia luput dari pengetahuan-Nya. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang mereka perbuat” (QS. Yunus [10] : 36).
Teranglah, Allah SWT Maha Tahu atas segala sesuatu, termasuk karakteristik manusia.
Berdasarkan realitas kelemahan dan keserbakurangan manusia ini maka menyerahkan pengaturan kehidupan kepada hukum dan peraturan yang diproduksi oleh akal manusia, seperti dalam demokrasi, hanya akan mendatangkan kerusakan. Karena itu pula, pemerintahan yang ideal baik secara i’tiqâdi maupun realitas adalah pemerintahan yang mengurusi urusan-urusan masyarakat dengan menegakkan aturan dan hukum Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan yang menegakkan dan memberlakukan seluruh hukum Islam. Dia berfirman:
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. AL Maidah 50).
Menegakkan Aturan Islam, Suatu Ibadah
Allah SWT memerintahkan untuk selalu terikat dengan hukum syara sebagaimana firman-Nya:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”( QS. An Nisa: 65).
Nabi SAW sendiri senantiasa menekankan bahwa tolok ukur itu adalah wahyu yang dibawanya. Beliau saw. bersabda: “Tinggalkanlah olehmu sekalian apa saja yang telah kutinggalkan. Sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan umat-umat sebelum kamu adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan mereka bertindak tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh nabi-nabi mereka. Oleh karena itu, bila aku melarang sesuatu kepada kamu sekalian maka jauhilah, dan bila aku memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah sekuat tenaga.”
Melalui ayat dan hadits di atas, Allah SWT lewat lisan Rasulullah Muhammad SAW menjelaskan kepada kaum mukminin bahwa tolok ukur dalam mengatur pemerintahan, sebagaimana halnya dalam mengatur persoalan individual, adalah hukum Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Artinya, siapapun yang melaksanakan perintah itu dikategorikan sebagai ibadah. Sebab, ibadah secara umum bermakna taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepada-Nya, serta terikat dengan hukum yang disyariatkan-Nya (thâ’atullâh wa khudhû’un lahu wa iltizâmu mâ syara’ahu min ad dîn). Sebaliknya, mengatur persoalan ekonomi, politik, sosial, budaya dan persoalan lainnya dengan selain Islam bukan sekedar tidak ibadah melainkan juga suatu tindak maksiat.
Sekilas Pemerintahan Ideal
Khilafah Islamiyyah. Itulah pemerintahan ideal. Menurut bahasa, khilafah dapat berarti peguasa agung (Tafsir Ath Thabari, hal. 199), yang mengikuti (Al Qalqasyndi, Maatsirul Inafah fi Ma’alimil Khilafah, I, hal. 8), dan pengganti (Lisanul Arab, I, hal. 882). Adapun secara syar’iy, Khilafah Islamiyyah merupakan kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia dalam institusi negara internasional yang dipimin oleh seorang khalifah untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah ke segenap penjuru dunia.
Dengan tegaknya institusi Khilafah Islamiyah, hukum-hukum Allah SWT dijadikan sebagai pemutus perkara sesama warga negara, baik muslim maupun non muslim (ahlu dzimmah). Juga, antara rakyat dengan para penguasa termasuk khalifah sendiri sebagai kepala negara. Dalam sistem khilafahlah supremasi hukum diterapkan. Namun, hukum di sini adalah hukum Islam. Hukum-hukum kufur disingkirkan. Allah SWT berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),.” (QS. An Nisa 59).
Khilafah juga menyatukan negeri-negeri Islam yang kini terpecah-belah menjadi 55 negara kecil-kecil dan lemah menjadi satu negara besar khilafah Islamiyah serta mengemban risalah Islam ke seluruh duinia melalui dakwah dan jihad fi sabilillah.
Dalam realitasnya, Khilafah adalah sistem pemerintahan yang tegak di atas empat pilar yang solid. Pertama, kedaulatan di tangan syara’ (QS. Yusuf 40). Pemutus halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela adalah hukum syara. Persoalan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan segenap persoalan kehidupan dihukumi dengan hukum Allah SWT.
Kedua, kekuasaan di tangan rakyat. Lalu rakyat menyerahkan kekuasaan itu kepada seseorang pilihan mereka sebagai khalifah. Rakyat berhak dan wajib mengoreksi penguasa. Rakyat memberikan masukan kepada mereka, menampakkan kehendaknya, menuntut hak-haknya. Hanya saja, tolok ukur diterima atau tidaknya masukan dan tuntutannya itu adalah kesesuaiannya dengan hukum Islam.
Ketiga, khalifah yang dipilih dan dibai’at rakyat itu wajib satu orang saja. Artinya, tubuh kaum muslimin yang kini berserakan menyatu kembali. Globalisasi sekularisme yang kini menggulung umat Islam dihadapi dengan kekuatan Islam yang juga global.
Keempat, khalifah yang telah dibai’at itulah yang punya hak untuk melegalisasi hukum syara’ yang digali oleh para mujtahid sehingga terwujud tertib hukum di masyarakat.
Akhirnya, dengan ditegakkannya hukum-hukum Islam manusia akan kembali ke posisi manusia sebagai hamba Allah SWT, terbebas dari belenggu hewani. Terpeliharalah agama, jiwa, akal, nasab, harta, kehormatan diri, keamanan, dan keutuhan kaum muslim. Dengan Islam, manusia memiliki tuntunan sistem yang sempurna. Sistem inilah yang dapat memberikan jaminan terwujudnya good governance (sistem pemerintahan yang baik) dan clean government (aparatur pemerintahan yang bersih).
Islam memandang bahwa tidak terciptanya good governance dan clean government disebabkan oleh faktor yang bersifat kultural dan yang bersifat struktural.
Pertama, faktor kultural, yaitu telah membudayanya perilaku tidak amanah dan korup karena paradigma kebahagiaan diukur secara materi. Kebahagiaan, martabat, dan kehormatan akhirnya diukur dengan uang. Akibatnya, segala cara pun dilakukan. Rasa malu sudah dibuang jauh-jauh. Bahkan korupsi dilakukan secara bersama-sama dan dipandang sebagai “bagi-bagi” rejeki, di samping demi mendapat dukungan politik.
Kualitas individu dalam hal ini memegang peranan penting. Sumbangan faktor individu ini tidaklah berdiri sendiri. Sebab, individu yang rusak pada dasarnya merupakan “buah” dari sistem yang rusak. Sebuah sistem secara sistematis merancang pembangunan karakter pribadi individual masyarakatnya. Dalam masyarakat kapitalis yang menjunjung tinggi individualisme, karakter pribadi warga negara memang tampak seperti tidak dibangun secara formal. Padahal, pola pendidikan, tata nilai (sosial, kemasyarakatan, keluarga), sistem ekonomi, maupun sistem sosial yang dipakai secara sistematis akan membentuk pribadi-pribadi yang mengagungkan kebebasan individu dan menjadikan tolok ukur materi sebagai nilai. Lahirlah sebuah masyarakat yang terdiri dari pribadi-pribadi individualis sekaligus materialis. Dalam masyarakat materialis seperti yang sekarang kita saksikan, tingginya tingkat korupsi tidaklah aneh. Tidak aneh pula jika pemerintah tidak begitu memperhatikan kepentingan rakyatnya karena cara berpikirnya adalah cara berpikir individualistik.
Kedua, faktor struktural. Faktor ini mengacu pada ideologi dan sistem yang diberlakukan, yaitu ideologi dan sitem kapitalis. Ideologi sekular yang menjadi dasar sistem kapitalis telah mengarahkan masyarakat untuk melupakan agama dalam interaksi sosialnya. Jadilah asas manfaat yang dikedepankan. Ideologi ini mendasari sistem yang berlaku. Dalam sistem politik dan pemerintahan demokrasi yang didasarkan atas dukungan suara terbanyak masyarakat yang individualis, materialis, dan mengedepankan asas manfaat, segala cara akan dipakai untuk mendapat dukungan politik demi melanggengkan kekuasaan dan jabatan.
Hal itu diperparah oleh sistem hukum yang tidak dapat menjadi pencegah tindakan korupsi dan tidak dapat membuat jera pelakunya. Bahkan, banyak kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang tidak dapat dijerat dengan sistem hukum yang ada. Sistem hukum yang ada juga tidak dapat melahirkan para penegak hukum yang handal yang hanya memihak kebenaran dan keadilan serta tidak tunduk pada tekanan kekuatan politik dan publik.
Sistem penggajian yang rendah juga turut memberikan andil dalam renciptaan kondisi di atas. Gaji yang rendah jelas dapat mendorong tindakan korup. Penggajian yang rendah ini dipengaruhi oleh sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan sumber-sumber kekayaan berada di tangan swasta sehingga pemerintah mengalami kesulitan pemasukan untuk menggaji pegawai negara.
Kerusakan birokrasi dan birokratnya itu tidak akan tumbuh jika kondisi masyarakat tidak memberikan peluang untuk itu. Jika masyarakat menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan keamanahan maka birokrat yang buruk dan korup tidak mungkin akan dihormati; mereka akan dihinakan, tidak diterima, dan bahkan diasingkan dari masyarakatnya. Birokrat yang korup dan buruk juga tidak akan berkembang jika ada kontrol sosial yang ketat dari masyarakat, yakni masyarakat yang senantiasa mengembangkan budaya amar makruf nahi mungkar serta selalu melakukan koreksi terhadap penguasa.
Karena faktor penyebab buruknya pemerintah adalah ideologi sekular, maka ideologi inilah—sekaligus sistem yang dilahirkannya—yang pertama-tama harus dicampakkan, kemudian diganti dengan ideologi dan sistem Islam.
Islam menentukan sistem penggajian bagi pegawai negeri dan kompensasi bagi pejabat negara yang layak. Dengan begitu, mereka dapat bertindak profesional. Untuk mencegah terjadinya penyelewengan wewenang, Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab, misalnya, melarang para penguasa berdagang. Mereka dituntut untuk meluangkan hampir keseluruhan waktunya untuk mengurus rakyat.
Sementara itu, Islam juga telah mengharamkan suap-menyuap. Allah Swt. berfirman:
Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil. Jangan pula menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan jalan dosa, sementara kalian mengetahui (hal itu). (QS al-Baqarah [2]: 188).
Berbagai macam hadiah yang diperuntukkan bagi para penyelenggara negara juga diharamkan dalam Islam. Rasulullah bersabda:
Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur. (HR Imam Ahmad).
Dalam pemerintahan Islam, para pejabat-setelah memangku jabatan-dihitung dan dicatat jumlah kekayaannya. Jika terdapat kenaikan jumlah yang kurang wajar, kelebihannya akan diserahkan ke Baitul Mal; baik keseluruhan atau separuhnya. Demikianlah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar terhadap Abu Hurairah, Amr bin ‘Ash Sa’ad bin Abî Waqash, dsb. Perilaku yang bersih ini dicontohkan oleh kepala negara.
Semua itu dijaga oleh sistem hukum yang dapat mencegah dan membuat jera. Seorang koruptor dapat diancam dengan hukuman kurungan penjara, diambil hartanya, dan diumumkan kepada khalayak. Bahkan, jika sampai pada tingkat membahayakan negara, ia dapat diancam dengan hukuman mati.
Khatimah
Pergantian penguasa tanpa perombakan sistem dengan sistem Islam hanyalah berarti melanggengkan kerusakan. Padahal, Allah SWT tegas memerintahkan manusia untuk menghentikan segala macam kerusakan dan maksiyat, lalu beralih kepada aturan yang diturunkan-Nya (Islam). Bila tidak, apa yang kita katakan di hadapan Allah Maha Penghisab kelak? Belumkah tiba saatnya untuk tunduk total kepada-Nya?
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Hadid [57] : 16).
Wallahu a’lam.