Connect with us

Politik

Menjalin Persaudaraan Sesama Muslim

Ramadan telah usai. Silaturrahim dan halal bi halal dilakukan. Tujuannya tidak lain adalah untuk saling memaafkan dan menjalin persaudaraan.

Umat Islam, Bersatulah!
Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. (QS al-Hujurât [49]: 10).

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum Mukmin adalah dalam hal dîn dan kehormatan, bukan dalam nasab. Karena itu, persaudaraan dalam dîn lebih kokoh dibandingkan dengan persaudaraan dalam nasab. Sebab, persaudaraan nasab dapat terputus dengan perbedaan dîn, sedangkan persaudaraan dîn tidak pernah terputus dengan perbedaan nasab.

Lebih jauh, Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslim untuk bersatu. Allah SWT berfirman:

Berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai. Ingatlah kalian akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dulu (masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan kalbu-kalbu kalian sehingga karena nikmat Allah kalian menjadi orang-orang yang bersaudara. (QS Ali ‘Imran [3]: 103).

Ayat ini turun mengenai kaum Anshar yang mengalami sedikit konflik. Konflik itu bermula dari melintasnya seorang Yahudi melewati kerumunan sekelompok kaum Anshar yang merupakan penduduk pribumi kota Madinah. Kaum Anshar yang berasal dari dua suku-Aus dan Khazraj-pada masa Jahiliah pernah saling berperang selama ratusan tahun. Setelah Islam datang, mereka masuk Islam, dan dengan nikmat Allah SWT, mereka bersaudara. Pemandangan yang indah penuh ceria dalam kehidupan Muslim itu menimbulkan iri hati Yahudi tersebut dan mendorong niat jahatnya untuk melakukan tindakan memecah-belah kaum Muslim. Lalu, dengan tangkasnya, Yahudi itu melakukan politik adu-domba dengan mengisahkan kembali peperangan-peperangan mereka pada masa Jahiliah serta menyebut-nyebut kejantanan, keperwiraan, serta kemuliaan masing-masing suku sehingga hati mereka masing-masing menjadi panas, bahkan masing-masing mulai mengambil senjatanya. Kabar tentang krisis itu segera sampai kepada Rasulullah saw. Beliau pun segera datang untuk melerai. Dengan tegas beliau berkata pada mereka (yang artinya, “Apakah kalian hendak membangga-banggakan dan menonjol-nonjolkan semangat Jahiliah padahal aku ada di antara kalian?

Para sahabat Anshar dari kedua suku itu pun menyesal dan meletakkan senjatanya masing-masing. Demikian asbâb an-nuzûl ayat tersebut.

Imam Ibn Katsir, dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm, (I/477) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan habl Allah (tali Allah) adalah perjanjian dan perlindungan untuk orang kafir dzimmi, sebagaimana disebut pada ayat berikutnya (QS Ali Imran [3]:112). Namun, habl Allah bisa juga berarti al-Quran, sebagaimana disebut dalam hadis marfu‘ dari Ali r.a. ketika menyifati al-Quran, “Al-Quran adalah tali (habl) Allah yang teguh dan jalan-Nya yang lurus.

Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya (102), pendapat kedua lebih kuat. Seruan (khithâb) ayat ini ditujukan kepada orang-orang Muslim yang Mukmin, bukan kepada orang-orang kafir dzimmi. Dengan berpegang pada kitab yang sama yang merupakan wahyu Allah SWT, baik ungkapan maupun maknanya, kaum Muslim di manapun mereka berada akan dapat bersatu-padu dan berjuang bersama menegakkan agama Allah. Dengan pegangan yang sama, kaum Muslim akan muncul menjadi umat yang sukses dan selamat dunia-akhirat. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw. sebagaimana dituturkan oleh Abdullah r.a., bersabda:

Sesungguhnya Al-Quran ini adalah tali (habl) Allah yang teguh; cahaya yang menerangi; dan obat penyembuh yang bermanfaat-yang menjadi pelindung (‘ishmah) bagi orang yang berpegang teguh padanya dan menjadi penyelamat orang yang mengikutinya. (HR Ibn Mardawaih).

Imam az-Zamakhsyari, dalam Tafsîr al-Kasysyâf, (I/386), memaknai firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 103 tersebut dengan menyatakan bahwa ayat tersebut bermakna, “Bersatulah kalian dalam permohonan dan kepercayaan kalian kepada Allah dan janganlah kalian berpecah-belah. Bersatulah kalian dalam berpegang teguh pada janji Allah kepada para hamba-Nya, yaitu iman dan taat, serta bersatulah kalian dengan kitab-Nya…”

Adapun berkaitan dengan kalimat Walâ tafarraqû (Janganlah kalian bercerai-berai!), Imam az-Zamakhsyari menafsirkannya dengan, “Janganlah kalian bercerai-berai dari kebenaran lantaran jatuh dalam perbedaan yang luar biasa, sebagaimana perbedaan yang ada pada bangsa Yahudi dan Nasrani, atau sebagaimana perpecahan dan permusuhan yang kalian alami dulu pada masa Jahiliah. Janganlah itu semua terjadi. Kembalilah pada sesuatu yang mempersatukan kalian, yaitu mengikuti kebenaran dan berpegang teguh pada Islam.”

Tegas sekali, ayat ini memerintahkan kaum Mukmin untuk bersatu atas dasar Islam dan untuk menegakkan Islam dengan hukum syariat sebagai tolok ukurnya; bukan bersatu demi pimpinan kelompok, partai, figur, ataupun fanatisme masing-masing. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah, menegaskan hal ini:

“Sesungguhnya Allah SWT meridhai kalian tiga perkara dan memurkai kalian tiga perkara. Allah meridhai kalian jika kalian (1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; (2) berpegang pada tali Allah dan tidak bercerai-berai; (3) sering menasihati orang yang diserahi Allah kekuasaan/wewenang untuk urusan pemerintahan kalian…” (HR Muslim).

Persatuan Bermutu Tinggi
Persatuan dan persaudaraan umat Islam bukanlah persatuan yang asal saja, melainkan persatuan yang kokoh. Allah SWT lewat Rasulullah saw. menjelaskan adanya tiga karakter persaudaraan umat. Pertama, persatuan umat Islam adalah laksana persaudaraan antara sesama saudara kandung. Hal ini tegas dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw.:

Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara (ikhwatun) (QS al-Hujurât [49]: 10).

Seorang Muslim adalah saudara (akhun) bagi Muslim lainnya. (HR Muslim).

Dalam kedua nash tersebut Allah SWT dan Nabi saw. menggunakan kata ikhwatun dan akhun yang maknanya saudara. Realitas menunjukkan betapapun berbeda pendapat, satu saudara dengan saudara kandungnya atau familinya tetap akan saling membantu, menolong, dan saling meringankan beban dalam kebaikan dan ketakwaan.

Kedua, persatuan umat Islam haruslah seperti satu tubuh. Nabi saw. menyatakan:

Kaum Mukmin itu seperti satu tubuh. (HR ath-Thabari).

Tubuh yang dimaksud tentu bukan tubuh yang terbujur mati, melainkan tubuh yang hidup dan berfungsi untuk secara bersama-sama melakukan aktivitas bagi kepentingan tubuh secara keseluruhan. Secara individual, setiap komponen umat berjuang untuk kepentingan umat secara keseluruhan, persis seperti tubuh. Mulut, misalnya, mengunyah makanan bukan sekadar untuk kenikmatan mulut, melainkan untuk kepentingan tubuh secara keseluruhan. Hidung menghirup udara bukanlah untuk kebaikan hidung semata melainkan untuk kebaikan seluruh tubuh. Umat Islam, ketika secara benar menjalin persatuan demikian, akan menjadi umat yang utuh seperti tubuh.

Ketiga, persatuan umat Islam haruslah seperti satu bangunan. Hal ini diberitakan oleh Rasulullah saw.:

Muslim dengan Muslim lainnya laksana bangunan yang saling mengokohkan satu sama lain. (HR al-Bukhari).

Bangunan dapat dijadikan tempat beristirahat, menjalin keharmonisan, bahkan mengobati anggota yang sakit. Selain itu, bangunan dapat melindungi penghuninya dari hujan, terik matahari, bahkan gangguan penjahat. Umat Islam yang bersatu adalah umat yang memerankan fungsi seperti bangunan ini.

Secara praktis, Rasulullah saw. menegaskan bahwa kesatuan umat yang dapat menjalankan ketiga fungsi tersebut adalah persatuan di bawah kepemimpinan kaum Muslim (imamah/khilafah). Sebab, kepemimpinan seperti itulah yang benar-benar merupakan benteng bagi mereka.

Pemimpin (imam) itu benteng. (Kaum Muslim) diperangi (saat berada) di belakangnya dan dilindungi olehnya (HR. Muslim).

Jelaslah bahwa Islam merupakan penyatu hakiki kaum Muslim. Untuk itu, setiap Muslim harus segera meninggalkan segala bentuk pemikiran dan ikatan kufur, dan beralih pada ikatan Islam. Dengan demikian, setiap upaya untuk menjadikan sesama Muslim saling berhadapan dalam bentrokan fisik wajib dihindarkan.

Namun, tidak berhenti sampai langkah cepat dan praktis ini saja. Langkah mendasar dan menyeluruh pun perlu segera dan terus dilakukan. Caranya, pertama, kembali pada pemahaman-pemahaman Islam yang memang membuang jauh ego golongan, kesukuan, ataupun nasionalisme. Kedua, mengusir bisikan dan tipuan setan-setan dari kalangan imperialis kufur dan para pengikutnya yang justru melanggengkan umat dalam golonganisme, kesukuan, dan nasionalisme. Ketiga, terus berupaya bersatu untuk menyatukan umat Islam di sini dengan negeri-negeri Islam lainnya dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah.

Wahai kaum Muslim,
Rasulullah saw. memberikan peringatan tentang kehancuran kita sebagai umat akibat perpecahan diantara kita. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan oleh Mu‘adz bin Jabal, bersabda:

Sungguh, aku berdoa dengan penuh harap. Aku memohon kepada Allah ‘Azza wa jalla tiga perkara. Dikabulkan dua perkara dan yang satunya tidak. Aku memohon kepada-Nya agar umatku tidak hancur akibat kelaparan. Dia mengabulkannya. Aku memohon kepada-Nya agar umatku tidak dikalahkan oleh musuh selain mereka. Itupun dikabulkan. Lalu, aku memohon kepada-Nya agar sesama mereka tidak saling mencelakakan. Namun, hal tersebut ditolak. (HR Ahmad).

Dalam hadis tersebut Rasulullah saw. membeberkan bahwa kita, umat Islam, tidak dapat diporakorandakan oleh musuh dari luar. Sebaliknya, umat akan dapat hancur karena sesama kaum Muslim saling berseteru, saling cakar, saling mencelakakan, atau saling memperdaya.

Wahai kaum Muslim yang bersaudara,
Keterpecahbelahan hanya menghasilkan keuntungan bagi mereka yang tidak suka kepada Islam dan umat Islam. Keterbecahbelahan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, kembalilah pada pangkuan Islam. Jadikanlah akidah Islam dan hukum-hukumnya sebagai tali pengikat sesama Muslim dalam menghadapi mereka yang dengan culas hendak mencengkeram Islam dan umatnya. Hanya Islam dan persatuan Islamlah yang yang bisa mempersatukan manusia secara hakiki. Dengan berpegang teguh pada tali itu semua hati dapat bersatu, merasa tenang dan tenteram selamanya; selamat dunia dan akhirat.

Nuansa jiwa untuk bersilaturahim dan menjalin persaudaraan pada suasana Idul Fitri seperti ini tentu jauh akan lebih bermakna dengan mewujudnya persaudaraan Islam yang sebenarnya.