Galeri Foto
Hindun binti Utbah, Kegelapan Menuju Cahaya
|Oleh: Ruruh Anjar

”Ibuku adalah perempuan yang sangat berbahaya di masa Jahiliyah dan di dalam Islam menjadi seorang perempuan yang mulia dan baik.” (Muawiyah bin Abu Sofyan).
Hindun binti ‘Utbah adalah seorang perempuan yang sangat fasih dalam berbahasa dan pemberani, memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, kekuatan tekad, dan pandangan yang tajam. Ia juga seorang penyair yang cerdas dan memiliki kepribadian yang kuat.
Ia pernah membina bangunan rumah tangga dua kali. Yang pertama dengan tokoh Quraisy bernama Al-Fakih bin Mughirah Al-Makzhumi, namun karena perilakunya kurang baik menyebabkan Hindun bercerai dengannya. Dari pernikahan ini, Hindun memperoleh seorang putra bernama Aban. Setelah itu Hindun menikah dengan Abu Sufyan bin Harb dan dikaruniai dua orang putra, Mu’awiyah dan ‘Utbah.
Saat itulah, cahaya Islam mulai menyeruak di jazirah Arab tetapi Hindun dan suaminya menolak cahaya tersebut bahkan menyusun berbagai makar jahat untuk menghancurkan Islam. Permusuhan itu terus berlangsung dan mencapai puncaknya setelah perang Badar terjadi.
Pada saat perang Badar, Hindun harus kehilangan ayah, paman, dan saudara kandungnya . Pamannya dibunuh oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah. Sedangkan ayahnya dibunuh Hamzah bin Abdul Muthalib yang dibantu Ali bin Abu Thalib. Peristiwa itu menyebabkan dendam berkobar di dada Hindun yang selalu memikirkan cara untuk membalasnya.
Setahun setelah perang Badar, kaum musyrikin Quraisy mempersiapkan diri untuk memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Mereka menarget Rasulullah dan Hamzah bin Abdul Muthalib sebagai sasaran utama. Untuk mewujudkan hal itu, mereka memilih seseorang yang ditugaskan khusus untuk membunuh Hamzah. Dia adalah Wahsyi, budak keturunan Habasyah yang sangat mahir melempar tombak. Para pembesar Quraisy memberi iming- iming kemerdekaan bagi Wahsyi jika berhasil, bahkan Hindun menjanjikan perhiasan-perhiasannya untuk Wahsyi.
Beberapa hari menjelang bertolak ke Uhud, Hindun terus mendoktrin Wahsyi dengan kedengkian-kedengkian terhadap Hamzah dan menjelaskan peran yang harus dijalankannya. Hindun juga terus memompa semangat kepada kaum Quraisy untuk berperang. Tidak banyak yang ia inginkan, melainkan kepala Hamzah semata, berapapun resiko dan biaya yang harus dikeluarkannya.
Ketika perang Uhud mulai berkecamuk, perempuan-perempuan Quraisy yang dipimpin Hindun menyelinap di antara barisan, menabuh rabana untuk membangkitkan semangat, membakar emosi, dan menggugah hati para kesatria untuk menyalakan api peperangan. Sementara di pihak kaum muslimin, Rasulullah memulai peperangan dengan dzikir kepada Allah dan berdoa agar diberi kemenangan atau mati syahid di jalan-Nya.
Pada saat perang bergolak sengit, Abu Dujanah yang berperang menggunakan pedang Rasulullah terus merangsek ke arah musuh. Di tengah pasukan, ia melihat dan terheran-heran ada sesorang yang sangat antusias mengobarkan semangat sehingga tentara Quraisy pun menjadi sangat bergairah dalam berperang. Ia segera menghampiri orang itu untuk menebas kepalanya. Namun manakala pedangnya sudah hampir mengenai ubun-ubun orang itu, baru disadarinya bahwa ia seorang perempuan. Perempuan itu adalah Hindun binti ‘Utbah. Maka Abu Dujanah pun mengalihkan pedangnya karena tak sudi menodai pedang Rasulullah dengan membunuh perempuan. Zubair bin Awwam yang ikut menyaksikan peristiwa itu hanya berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Selama perang berlangsung, Hamzah bin Abdul Muthalib, Sang Singa Allah, berperang dengan keberanian dan ketangkasan yang luarbiasa. Ia menerobos barisan pasukan musyrik dan membinasakan Bani Abdul Dar yang memegang bendera pasukan musyrik hingga tewas satu demi satu. Sa’ad bin Abu Waqqash menuturkan, “Dalam Perang Uhud, Hamzah bertempur di depan Rasulullah dengan menggunakan dua pedang sekaligus, seraya berteriak, ‘Akulah singa Allah.’” (diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad).
Seandainya para pemanah tidak meninggalkan posisi mereka di atas bukit dan tidak turun ke arena pertempuran untuk mengumpulkan harta rampasan yang ditinggalkan oleh pasukan musuh maka Perang Uhud akan benar-benar menjadi kuburan massal bagi orang Quraisy. Dan tanpa disadari ketika kericuhan akan harta rampasan perang itu sedang berlangsung, nyawa Hamzah sedang terancam oleh Wahsyi.
Wahsyi yang bertugas membunuh Hamzah, tak pernah melepas pandangnya pada sosok Hamzah yang begitu garang menghadapi musuh. Dan ketika mengamati sasarannya sudah tepat, ia langsung membidikkan tombaknya dan menembus tubuh Hamzah. Hamzah masih sempat melangkah ke arah Wahsy, tetapi segera terhenti dan terjatuh. Wahsyi terus mengawasi hingga yakin Hamzah telah tewas, lalu ia pun langsung pulang ke kemah dan berdiam di sana. Ia berkata, “Aku tidak punya kepentingan apapun selain membunuh Hamzah. Dan itu kulakukan karena aku ingin merdeka.”
Melihat Hamzah tewas, orang-orang kafir Quraisy sangat bersuka cita. Mereka telah melampiaskan dendam atas kekalahan di perang Badar. Terlebih Hindun, ia begitu bergembira. Namun, ia merasa tidak cukup hanya mendengar informasi tentang kematian Hamzah. Ia bersama perempuan-perempuan Quraisy lainnya mendatangi jenazah-jenazah tentara kaum muslimin yang gugur untuk dirusak secara biadab, khususnya terhadap jenazah Hamzah. Setelah itu Hindun naik ke puncak batu yang cukup besar dan berteriak sekeras-kerasnya bahwa pupus sudah gelora kesumat di dalam dadanya.
Abu Sufyan yang mengetahui peristiwa itu menyampaikan kepada pasukan kaum muslimin bahwa dirinya tidak ikut bertanggung jawab. Ia berkata, “Pasukan kalian yang gugur telah dirusak tubuhnya. Demi Allah, aku sendiri tidak menyukainya tetapi tidak juga membencinya. Memang aku tidak melarangnya tetapi aku juga tidak menyuruhnya.”
Setelah peristiwa itu, Hindun tetap mempertahankan keyakinan syiriknya sampai Allah membuka pintu hatinya untuk menerima Islam yaitu ketika terjadinya penaklukan kota Makkah (fathuh Makkah).
Saat itu Rasulullah dan para tentara muslim datang ke kota Makkah sebagai pemenang, Abu Sufyan mengira tentara muslim akan menyerang habis-habisan orang-orang Quraisy sampai-sampai ia berujar “Wahai segenap orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah tiba disini. Ia membawa pasukan yang tidak mungkin kalian lawan, maka menyerahlah. Dan, siapa yang masuk kerumah Abu Sufyan, berarti dia selamat.” Pernyataan ini sontak membuat Hindun terkejut, dan orang-orang Quraisy pun ragu bagaimana mungkin rumahnya bisa menampung semua orang Quraisy yang takut akan kedatangan Rasullullah. Namun Abu Sufyan kembali mengatakan sesuatu kepada orang-orang Quraisy yaitu “Siapa yang masuk ke dalam rumahnya maka ia akan selamat. Dan siapa yang masuk kedalam masjid, maka dia akan selamat.” Tanpa menunggu orang-orang Quraisy langsung kembali ke rumahnya masing-masing dan ke dalam masjid. Di saat-saat seperti itulah, Islam masuk kedalam hati Abu Sufyan dan Hindun binti ‘Utbah setelah lebih dari 20 tahun mengobarkan api permusuhan dan kebencian terhadap Islam.
Hindun berujar kepada Abu Sufyan, “Aku ingin menjadi pengikut Muhammad.” Abu Sufyan membalas, “Kemarin, aku melihat engkau sangat benci mengucapkan kata-kata seperti itu.” Hindun menjawab, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat pemandangan manusia menyembah Allah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid seperti yang kulihat tadi malam. Demi Allah, mereka datang kesana lalu menunaikan sholat, berdiri, ruku’, dan sujud.
Aisyah ra. menuturkan, “Hindun datang kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, demi Allah, selama ini tidak ada golongan di dunia ini yang paling aku harapkan agar Allah membinasakannya, daripada golonganmu. Tetapi, hari ini, tidak ada golongan di dunia ini yang paling aku harapkan agar Allah memuliakannya, daripada golonganmu” Rasullullah saw. membalas, ‘Begitu juga aku. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya.’” (HR.Muslim).
Setelah memeluk Islam dan berbaiat kepada Rasullullah saw, serta meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang satu, Hindun berupaya menjadi muslimah sejati. Ia menghancurkan berhala-berhala yang ada di dalam rumahnya hingga berkeping-keping. Lalu ia menjadi perempuan ahli ibadah dan konsisten dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Hatinya menjadi bersih. Dengan Islam, semua kebencian, kedengkian, kejahiliyahan, dan kebatilan yang selama ini menghinggapinya telah hilang.
Bahkan ketika Rasulullah wafat, Hindun merasakan kepedihan yang mendalam. Hindun merasa sangat terpukul karena membiarkan dirinya terlalu lama memusuhi Rasulullah dan menyia-nyiakan usianya yang terbuang percuma sebelum menyatakan tunduk dengan aturan Allah. Untuk itulah, ia terus mempertahankan keimanannya dengan baik.
Hindun juga memiliki peran penting saat terjadinya perang Yarmuk yang menghadapkan pasukan muslimin dengan pasukan Romawi yang berjumlah sangat besar. Ia yang ikut di dalam perang tersebut menyaksikan tentara kaum muslimin yang terdesak dan ada yang berusaha melarikan diri. Melihat itu, Hindun dan para perempuan melontarkan kecaman pedas yang membuat tentara tersebut kembali ke medan pertempuran. Hindun berteriak, “Kalian mau lari kemana? Kalian melarikan diri dari apa? Apakah dari Allah dan surga-Nya? Sungguh Allah melihat yang kalian lakukan!” Bahkan ketika melihat Abu Sufyan, suaminya, juga ingin melarikan diri, Hindun mengejarnya dan berteriak, “Engkau mau kemana wahai putra Shakhr? Ayo kembali lagi ke medan perang! Berjuanglah habis-habisan agar engkau dapat membalas kesalahan masa lalumu, saat engkau menggalang kekuatan untuk menghancurkan Rasulullah!”
Zubair bin Awwam mengisahkan, “Saat itu juga Abu Sufyan membelokkan kudanya kembali menuju medan laga yang diikuti oleh pasukan muslim lainnya. Kaum perempuan juga turut serta bergabung bahkan bergerak lebih dahulu dibandingkan mereka. Pasukan muslim menyerbu dengan gagah berani. Mereka hanya punya satu tujuan yaitu meraih ridha Allah dan Rasul-Nya, hingga pasukan Romawi hancur lebur.” (Futuuh Asy Syaam vol. 1).
Hindun melepaskan nafasnya yang terakhir saat pemerintahan Umar bin Khaththab, setelah mempersembahkan segala kemampuannya untuk membela agama Allah. Ia berada dalam akhir kehidupan yang indah manakala memutuskan hidup dengan Islam dan mencintainya dengan sepenuh hati.
Inilah potret kehidupan manusia yang awalnya begitu gigih memusuhi Islam namun bersegera menjemput hidayah ketika kesempatan itu menghampirinya. Yang begitu pilu telah banyak menyia-nyiakan waktunya dengan kemaksiatan dan kejahiliyahan. Tetapi, ketika manisnya iman telah direngkuhnya, totalitas dakwah dan perjuangan menegakkan Izzul Islam wal muslimin senantiasa ia kobarkan. Seorang pembenci akhirnya berbalik menjadi pembela. Kegelapan ditinggalkan menuju cahaya. Hingga rela bertaruh segalanya demi pancaran Islam di segenap semesta.
Wallahua’lam bishshowwab.
—