Ekonomi
Mengentaskan Kemiskinan Dengan Kredit Ribawi?
Oleh: Deasy Rosnawati, S.T.P
Pemerintah provinsi Lampung menyusun program strategis untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah provinsi Lampung.
Asisten II bidang Ekonomi dan Pembangunan Provinsi Lampung, Taufik Hidayat menerangkan angka kemiskinan di Lampung cukup tinggi.
“Sehingga diperlukan upaya untuk melakukan terobosan-terobosan guna mengentaskannya,” ungkap Taufik, Sabtu (13/4/2019).
Misalnya, terus dia, mengefektifkan Kredit Usaha Rakyat. Dengan program ini, Taufik meminta kedepannya bagaimana kita mengefektifkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk masyarakat miskin. [https//m.lampung.rilis.id/Atasi-Kemiskinan-Pemda-Fasilitasi-Pinjaman-ke-Bank.html]
KOMENTAR
Sesungguhnya kemiskinan di provinsi ini tidak mungkin bisa dientaskan dengan KUR sebab KUR adalah kredit ribawi yang diharamkan Allah. Firman Allah SWT,”… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” T.Q.S al-Baqarah (2) ayat 275.
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” T.Q.S al-Baqarah (2) ayat 276.
Allah memusnahkan riba bermakna Allah memusnahkan harta riba itu atau Allah meniadakan berkahnya. Sedang Allah menyuburkan sedekah bermakna Allah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya (zakatnya) atau Allah melipat gandakan berkahnya.
Maka, menjadikan kredit riba untuk mengentaskan kemiskinan dalam logika berpikir islam, jelas tertolak.
Lalu bagaimana Negara yang menerapkan islam (khilafah) menjamin tersedianya modal usaha bagi rakyatnya?
Modal usaha dijamin ketersediaannya justru ketika Negara mencampakkan hukum riba. Dan Negara menerapkan pelarangan kanzu dzahab. Yaitu larangan menimbun mata uang tanpa tujuan.
Maka para pemilik harta dalam sistem islam dihadapkan pada beberapa plihan. Mengembangkan sendiri hartanya, mencari patner syirkah, membelanjakan hartanya, atau menghibahkannya.
Mengembangkan sendiri harta, artinya ia membuka lapangan kerja untuk orang lain. Dan itu baik. Mencari patner syirkah, artinya ia menyediakan modal usaha untuk orang lain. Itupun baik. Membelanjakannya artinya ia menjadikan uangnya menjadi pemasukan bagi para pedagang. Ini juga baik. Sedang menghibahkannya artinya ia menjadikan uangnya bisa dmanfaatkan oleh orang lain. Ini pun baik.
Tidak ada pilihan dalam islam menimbun harta, meski dikeluarkan zakatnya. Apalagi pilihan untuk mendepositokan harta di bank seraya menanti ribanya.
Adapun mekanisme lain bagi tersedianya modal usaha di tengah-tengah masyarakat adalah zakat. Dalam islam, zakat harta meliputi zakat tanaman dan buah-buahan, zakat ternak, zakat emas dan perak serta zakat perdagangan.
Zakat tanaman dan buah-buahan dibayarkan dalam bentuk hasil tanaman dan buah-buahan tersebut, meski ada kebolehan untuk membayarkannya dalam bentuk mata uang. Zakat ternak, tidak boleh diambil kecuali dalam bentuk hewan ternak juga; berupa unta, sapi atau kambing sesuai ketentuan syari’at. Lalu zakat emas perak dan perdagangan diambil dalam bentuk emas dan perak atau uang.
Dengan ketentuan zakat semacam ini, maka pembagian zakat kepada para mustahiq dapat disesuaikan dengan keadaan mereka. Mustahiq yang berpotensi dalam usaha peternakan akan diberi hewan ternak disamping makanan dan uang untuk keperluan konsumsi. Sementara mustahiq yang berpotensi dalam perdagangan akan mendapat bagian zakat berupa uang untuk kepentingan modal dan konsumsi, serta makanan untuk konsumsi. Dengan begitu, mekanisme zakat otomatis menghasilkan tersedianya modal usaha, salah satunya di sektor peternakan.
Selanjutnya, sistem islam menjamin tersedianya modal untuk usaha pertanian. Caranya dengan diberlakukannya hukum tanah sesuai dengan syari’at. Hukum-hukum tanah tersebut antara lain adalah hukum kepemilikan tanah secara otomatis bagi siapa saja yang menghidupkan tanah mati. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka (tanah) itu menjadi miliknya.” (HR. Bukhari)
Negara khilafah akan mendorong dan memberi kemudahan bagi rakyat untuk aktivitas menghidupkan tanah mati ini. Ada dua keuntungan yang bisa diraih sekaligus. Yaitu optimalisasi pemanfaatan lahan disatu sisi, disisi lain tersedianya modal usaha pertanian berupa tanah bagi masyarakat.
Bukan hanya memerintahkan menghidupkan tanah mati, ternyata dalam islam terdapat larangan menelantarkan tanah pertanian selama tiga tahun berturut-turut, disertai sanksi berupa pengambilan lahan tersebut oleh Negara untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan. Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya. Apabila ia menelantarkannya, maka hendaknya tanahnya diambil darinya.” HR. al-Bukhari.
Selain melarang menelantarkan lahan, islam juga melarang praktek menyewakan lahan pertanian. Sehingga terhapus dengan sendirinya sistem feodalisme. Tidak akan ada tuan tanah yang berpangku tangan namun mendapat hasil dari tanahnya.
Ini sebagian kecil hukum mengenai tanah dalam islam. Dengan hukum-hukum ini, tanah yang merupakan harta tidak bergerak, bisa digerakkan secara dimamis oleh islam sebagai modal usaha ditengah-tengah masyarakat.
Dengan begitu, tidak akan ada petani gurem dalam sistem islam; yaitu petani yang lahannya sangat sempit. Bahkan dengan diterapkan islam dalam sektor pertanian, tidak akan ada petani penggarap, yaitu petani yang tidak memiliki lahan sendiri.
Demikian gambaran dari sebagian hukum-hukum islam, yang bila diterapkan akan memberi jaminan tersedianya modal usaha di seluruh bidang kehidupan. Sistem inilah yang sejatinya tengah dirindukan kehadirannya oleh masyarakat. Bukan sistem kapitalistik yang ribawi.
Wallahua’lam.