Pendidikan
Bahlul: Si Gila Yang Waras
Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)
#KisahRamadhan
BANYAK orang menggunakan kata “bahlul” untuk mencela orang yang dianggap bodoh, dungu atau gila.
Sebetulnya “bahlul” berasal dari panggilan seorang sufi yang unik. Kata-kata dan perilakunya sering terkesan aneh. Ia acap bisa bicara sendiri, ketawa sendiri atau menangis sendiri dalam perenungannya. Ia biasa berpakaian kotor, kumal seperti orang gila. Itulah sebabnya ia sering dipanggil al-majnuun (si gila).
Jelas, Bahlul bukan tokoh fiktif. Nama aslinya Abu Wahb Amr as-Shairafi al-Kufi. Lahir di Kufah, Irak. Ia menjalani kehidupan sebagai sufi eksentrik sehingga digelari “bahlul”. Ia hidup pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid.
Biografi Bahlul dapat dilacak di sejumlah sumber literatur Arab, antara lain: Al-Bayaan wa at-Tabyiin (karya Al-Jahiz), Ar-Rijaal (karya Ath-Thusi), Lisaan al-Mizaan (karya Ibnu Hajar Asqalani), Al-Alam (karya Az-Zirkili), juga dalam ‘Uqalaa al-Majaanin (karya An-Naisaburi).
Bahlul lebih suka hidup bebas. Berkeliaran. Tinggal di gubuk. Kadang singgah di pekuburan.
Pada mulanya, Bahlul termasuk orang cerdas. Akan tetapi, ia konon mengalami gangguan psikologis. Semacam schizophrenia.
Cacian dan hinaan yang menyakitkan menjadi makanan kesehariannya. Sebutan “Bahlul al-Majnun” sering dilontarkan kepada dia untuk menertawakan dan mempermainkan dirinya. Akibatnya, ia sering menyendiri di tempat sepi atau kuburan.
Banyak kisah menarik tentang Bahlul. Muhammad bin Ismail bin Abi Fadik, misalnya, pernah bertutur:
Aku mendengar suatu hari Bahlul sedang di suatu pekuburan. Ia sedang duduk-duduk sembari kakinya mempermainkan butiran tanah. “Sedang apa engkau?” Sapa Abu Fadik.
“Aku berada di tengah-tengah kaum yang tidak pernah menyakiti aku. Saat aku tidak berada di antara mereka, mereka pun tidak menggunjingku.” (An-Naisaburi, ‘Uqala al-Majaanin, 1/24).
Demikianlah. Dalam pandangan Bahlul, orang mati kadang lebih baik daripada orang yang hidup. Orang mati tak mungkin merugikan orang lain. Beda dengan orang yang hidup. Banyak di antara mereka yang berlaku lalim kepada orang lain.
Dalam riwayat lain diceritakan sebuah kisah Bahlul dengan Khalifah Harun ar-Rasyid. “Hai Bahlul, kapan kau sembuh dari gilamu?” Tanya sang Khalifah.
Bahlul balik bertanya, ”Aku atau engkau yang gila, wahai Harun?”
Khalifah menukas, “Tentu aku yang waras dan engkau yang gila karena setiap hari engkau duduk-duduk di atas kuburan.”
Bahlul menjawab, “Akulah yang waras. Engkau yang gila!”
“Mengapa begitu?” Sergah sang Khalifah.
Bahlul menjawab, “Ya, karena aku tahu istana (kekuasaan)-mu akan musnah. Lalu semua orang, termasuk engkau, pada akhirnya akan masuk ke kuburan ini. Oleh karena itu aku mempersiapkan diri (dengan banyak bermal shalih) untuk tinggal kekal di sini. Sebaliknya, engkau malah terus menyibukkan diri dengan membangun istanamu yang bakal punah!”
Jawaban Bahlul nyata amat cerdas. Bukan jawaban orang dungu atau gila.
Ada cerita menarik lainnya dari Bahlul.
Suatu hari, Bahlul datang ke Istana Khalifah Harun ar-Rasyid. Ia melihat bahwa singgasananya dalam keadaan kosong. Lalu tanpa ragu-ragu dan tanpa takut ia duduk di singgasana Khalifah.
Tiba-tiba orang-orang dengan segera mencambuk dia dan menarik dirinya dari singgasana. Bahlul pun menangis.
Lalu Khalifah datang. Khalifah mendekat dan bertanya, mengapa Bahlul menangis. Seorang budak menceritakan kejadiannya. Khalifah Harun pun memarahi mereka dan mencoba untuk menghibur Bahlul.
Namun, Bahlul berkata bahwa ia tidak sedang menangisi keadaan dirinya. Ia justru sedang menangisi keadaan sang Khalifah. Ia berkata, “Aku duduk di kursi Kekhalifahan hanya untuk sesaat. Lalu aku menerima pukulan dan menanggung kemalangan seperti tadi. Adapun engkau telah duduk di singgasana itu sekian selama! Alangkah banyak kesulitan yang mesti kau tanggung nanti di akhirat. Namun, masih saja engkau tidak takut akan akibatnya.”
Sang Khalifah pun tertegun. Tak sanggup berkata-kata.
Kisah terakhir ini pun antara lain dinukil oleh Abu Qasim an-Naisaburi dalam kitabnya, ‘Uqalaa al-Majaanin.
Demikianlah Bahlul. Sungguh ia bukan orang dungu atau gila. Ia bahkan lebih cerdas dan lebih waras daripada orang yang mengaku waras, tetapi tergila-gila oleh dunia hingga lupa akhirat.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah ‘alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []