Majelis Taqorrub
Selalu Bersama Allah
Ma’iyyah berasal dari kata ma’a, artinya bersama. Ma’iyatullah berarti kebersamaan Allah SWT. Dengan menelaah ayat-ayat al-Quran diketahui bahwa ma’iyyatullah itu ada dua kategori: al-ma’iyyah al-‘âmah dan al-ma’iyyah al-khâshah.
- Al-Ma’iyyatullah al-âmah
Al-ma’iyyatullah al-âmah (kebersamaan umum) artinya bahwa Allah SWT senantiasa bersama dengan seluruh manusia. Baik tua atau muda, laki-laki maupun perempuan, miskin atukah kaya, bodoh maupun pintar, tinggal di desa juga di kota, taat ataukah membangkang, muslim ataupun kafir. Tidak ada bedanya ! Dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui (al-‘Alîm), Maha Melihat (al-Bashîr), Maha Mendengar (al-Samî’), Allah SWT akan senantiasa mengetahui dan melihat apa yang dilakukan manusia dan apa yang dikatakannya.
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian istiwa’ di arsy. Dia mengetahui apa yang ada di bumi dan yang keluar dari bumi, apa yang turun dari langit dan apa-apa yang naik padanya. Dia bersamamu dimanapun kamu berada. Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (TQS. al-Hadid [57]: 4)
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلا خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلا أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengetahui apa-apa yang ada dilangit dan apa-apa yang ada di bumi? Tiadalah berbisik tiga orang, melainkan dia yang keempatnya dan tidak pula lima orang, melainkan Dia yang keenamnya dan tiada kurang serta tiada lebih melainkan Dia bersama mereka dimana saja mereka berada. Kemudian Dia kabarkan kepada mereka apa-apa yang mereka kerjakan pada hari kiamat. Sungguh Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Mujadilah [58]: 7)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiadalah satu perkataanpun yang diucapkan seseorang melainkan disisinya ada Raqîb dan ‘Atîd.” (TQS. Qaaf [50]: 18)
Karenanya, seorang muslim bertauhid lurus betul-betul sadar bahwa Allah SWT mengetahui setiap gerak-gerik dia, ucapan dia, bahkan apapun yang terlintas didalam hatinya. Tidak ada yang tersembunyi apapun bagi Allah Dzat Maha Mengetahui. Dia bukan hanya mengetahui saat orang di masjid saja. Juga, bukan hanya mengetahui apa yang dilakukan manusia di bulan Ramadlan saja. Dia mengetahui apapun yang terjadi baik di langit maupun di bumi, siang maupun malam, jauh maupun dekat, ditampakkan ataukah disembunyi-sembunyikan, disengaja ataupun tidak. Karena itu, ia yakin bahwa setiap lintasan hati dan perilakunya senantiasa diketahui oleh Allah SWT. Implikasinya, ia berupaya untuk tidak menyalahi segenap aturan-aturan Al Khaliq. Muslim bertauhid lurus akan terikat dengan segenap hukum syara’ (aturan Allah SWT) dalam setiap aspek kehidupannya. Dia tidak percaya kepada aturan selain Allah SWT, aturan thaghut, termasuk pendapat ‘cendekiawan muslim’ dengan mengatasnamakan rasionalitas dan ilmiah dengan menyatakan semua agama langit (Islam, Kristen, Yahudi) sama saja, kebenaran itu relatif, jangan merasa hanya Islam yang benar, Islam ditafsirkan dari sudut pandang liberalisme hingga muncul istilah ‘Islam liberal’ dan ungkapan lainnya. Ia sadar bahwa segenap keyakinan dan perbuatannya akan dipertanggungjawabkan oleh dirinya sendiri. Ia tidak akan gambling dengan berbagai logika yang jauh dari bimbingan wahyu Allah SWT.
Untuk itu, seorang muslim yang sadar akan pengawasan Allah SWT senantiasa terikat dengan hukum syara dimanapun ia berada. Sekalipun ia tidak dapat melihat Allah SWT, namun ia yakin Allah Maha Melihat senantiasa menyaksikan apapun yang dilakukannya. Karena itu, ia berupaya melakukan taat kepada-Nya di setiap tempat.
Di masjid, misalnya. Ia akan senantiasa shalat berjamaah dengan khusyu’, berdzikir dan membaca al-Quran. Di masjid pula tidak dibicarakan selain menyangkut kepentingan umat. Begitu juga di rumah, seorang mukmin berupaya untuk menunaikan kewajiban terhadap anak-anak dan isteri-isterinya. Mereka didik dengan ajaran Islam. Ketika santai pun ia tidak menampakkan aurat sekalipun kepada anak-anaknya. Apalagi, ia tidak pernah mandi ‘bugil’ bersama mereka sekalipun orang-orang menganjurkannya atas nama pendidikan seks. Di jalan menuju tempat kerja juga sama. Pandangan senantiasa ditundukkannya. Ketika ada aurat orang lain di depannya, ia berupaya memalingkan pandangannya. Ia melakukan ghadhul bashar. Bila di kendaraan umum terjadi kemungkaran, ia berupaya untuk mencegahnya. Di kantor, ia bekerja dalam bidang yang diperbolehkan oleh Islam. Hubungan dengan sesama pun memperhatikan nizham ijtima’iy yang mengatur pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Ia tidak berkhalwat (berduaan dengan bukan mahram, mojok). Apalagi melakukan hal-hal yang mendekatkannya pada perzinahan seperti cumbu rayu, saling menatap penuh hasrat, berbicara hal-hal porno, pelecehan seksual, menjalin affair dengan perempuan atau laki-laki lain dan sebagainya. Ketika hendak mencari makan pun selalu terikat dengan hukum Allah SWT. Ia tidak akan mau makan di restauran, rumah makan, atau warung nasi yang di situ dijual juga bir, babi atau barang haram lainnya. Begitu juga, ia akan memilih tempat makan milik muslim, atau ahlul kitab yang terjamin kehalalannya. Di ruang pengadilan, ia tidak akan pernah menjadi saksi palsu, tidak akan membela orang yang jelas-jelas keliru. Dan, bila sebagai hakim, ia senantiasa akan memutuskan hukum sesuai dengan syariat Islam. Ketika ia sebagai seorang pejabat pun akan selalu membela rakyat dan umat Islam, mengurusi urusan mereka, menjauhkan dan menentang musuh-musuh Islam dan umatnya, melawan imperialisme Amerika dan negara-negara kafir sekutunya, serta menerapkan hukum Islam dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Demikianlah, keyakinan bahwa Allah Dzat Maha Bijaksana senantiasa mengawasi dimana pun ia berada betul-betul mempengaruhi perilakunya.
Wujud lain dari al-ma’iyyatullah al-‘âmah adalah Allah SWT memberikan kemuliaan dan rahmat-Nya berupa nyawa, rizki dan segenap nikmat kepada manusia, baik ia beriman kepada Allah SWT ataupun ia ingkar kepada-Nya. Baik ia selalu taat atau bergelimang maksiyat. Allah SWT berfirman :
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلا هُدًى وَلا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan (taskhir) untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin, Diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu, tanpa pertunjuk dan tanpa kitab yang terang.” (TQS. Luqman [31]: 20)
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي ءَادَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
“Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkat mereka dengan kendaraan di darat dan di laut serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan dengan kelebihan (yang sempurna).” (TQS. al-Isra’ [17]: 70)
Realitas menunjukkan bahwa orang ganteng itu tidak selalu mukmin, ada juga orang kafir yang wajahnya tampan. Orang kaya juga sama, muslim tidak dijamin kaya, tak sedikit orang kafir atau muslim banyak maksiyat hartanya melimpah ruah. Koruptor banyak yang kaya, penipu banyak hartanya, namun juga muslim shalih tidak sedikit yang dikurniai kekayaan melimpah. Jabatan pun tidak khusus diperuntukkan bagi orang mukmin, tengok saja saat sekarang ini orang-orang kafir imperialis dibawah pimpinan AS tengah berkuasa di seantero jagat. Demikian pula, kalangan penguasa muslim munafiq yang menjadi kaki tangan mereka. Sementara itu, belum ada orang muslim yang shalih dan sungguh-sungguh beriman sekarang diberi kesempatan berkuasa oleh Allah SWT untuk menerapkan seluruh aturan-aturan Islam. Tak sekedar itu, semua barang berupa oksigen, tumbuhan, air hujan, hewan, angin sepoi-sepoi, desiran pantai, indahnya pemandangan laut dan hal-hal lain diperuntukkan untuk semua manusia baik mukmin maupun kafir. Semuanya bukanlah manusia yang membuatnya, tapi Allah-lah Penciptanya. Umur, rasa senang, rasa tenang, nikmatnya hidup suami-isteri, sedih, marah, iba dan lainnya juga diberikan Allah SWT kepada setiap manusia. Siapapun mereka ! Demikian halnya dengan akal. Melalui akal manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk, dapat juga mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, serta dapat mengkaji wahyu Allah SWT sebagai tuntunan hidup di dunia demi kebahagiaan hakiki. Semua kenikmatan ini dirasakan oleh setiap manusia.
Inilah bentuk al-ma’iyyatullah al-amah. Semuanya merupakan pemberian Allah SWT, Dzat Maha Pengasih Penyayang. Setiap orang –tanpa memandang suku, agama, keimanan, tempat kelahiran atau apapun– mendapatkannya. Karenanya, perkara-perkara tadi tidak menentukan baik buruknya seseorang di hadapan Allah SWT. Alangkah ruginya seorang mukmin yang tidak sadar akan pengawasan Allah Rabbul ‘Izzati, atau hanya memperoleh kebersamaan Allah SWT yang bersifat umum saja. Sebab, hewan pun mendapatkan hal tersebut.
Mensikapi kenyataan demikian, seorang mukmin bertauhid lurus menyadari betul bahwa (1) Allah SWT. Maha Penyayang. Segala sesuatu apapun bentuk kenikmatan berasal dari Allah Pencipta Semesta. Tidak ada secuil pun kenikmatan dan fasilitas hidup berasal dari manusia atau makhluk lainnya. Tidak semuanya berasal dari Allah SWT. Dan, (2) Ia yakin betul bahwa kemuliaannya di sisi Allah SWT Pemilik Kemuliaan tidak ditentukan oleh perkara yang bersifat fisik; sebaliknya ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya-lah yang menjadikan seseorang mulia di sisi Allah SWT:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian menurut Allah adalah orang yang paling taqwa,” (QS. al-Hujurât [49]: 13)
Dalam pernyataan lain:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih mereka itulah sebaik-baiknya makhluk (khairul bariyyah).” (TQS. al-Bayyinah [98]: 7)
Inilah keyakinannya ! Untuk apa terlihat senang di dunia kalau harus merasakan kenestapaan tak terhingga kelak di akhirat. Untuk itu, ia akan terus berbuat ihsan kepada mereka. Dan selalu taat kepada segenap aturan Allah dan takut berbuat maksiyat, oleh karena Allah SWT senantiasa bersama mereka.
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Berbuatlah ihsan kamu sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepada engkau…” (TQS. al-Qashash [28]: 77)
- Al-ma’iyyatullah al-Khashah
Tidak semua manusia ternyata dapat merespon muraqabatullah dan ihsanullah sebagaimana mestinya. Sangat banyak manusia yang mudah sekali melakukan kemaksiyatan, padahal setiap saat Allah SWT senantiasa mengawasi manusia. Juga, sangat mudah melakukan ke-dzaliman kepada sesama manusia. Padahal Allah SWT senantiasa berbuat baik kepadanya. Cobalah kita tengokkan pikiran kita ke sekeliling kita. Aurat diobral murah seperti pakaian loakan. Bukan hanya betis atau paha, udel bahkan secara sengaja dan penuh kesadaran dipamerkan. Perjudian dibiarkan. Kejadian kemarin, di Ngawi, kaum muslim yang menentang perjudian malah ditangkapi. Perjudian dibela ! Saat Hari Natal tiba, 25 Desember 2001, ada orang muslim yang turut merayakannya. Bahkan, turut menjaganya. Seakan-akan mereka rasakan hal itu merupakan kebajikan atas nama toleransi. Padahal, Allah SWT dan Rasulullah SAW mengharamkan turut merayakan hari raya agama lain. Dan, di negeri muslim tidak dibenarkan propaganda hari raya Natal di TV, radio, toko-toko, jalan raya, kantor, dan tempat umum lainnya. Pejabat muslim justru memelopori kemaksiatan tersebut. Saat ada perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim tidak ditentang, alasannya ‘Itu hak asasi dia’. Bahkan, beberapa waktu lalu seorang yang disebut ‘cendekiawan muslim’ menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki Yahudi di Amerika dan menggunakan aturan yang disebutnya ‘syariat Ibrahim’. Padahal, dalam al-Quran hal itu diharamkan, merupakan kemaksiyatan (lihat: surat al-Mumtahanah [60]: 10, al-Baqarah [2]: 221). Ketika Amerika hendak memecah belah kaum muslim, tidak jarang orang muslim turut mengkampanyekan propaganda mereka dengan mengkotak-kotak umat Islam sebagai tradisionalis, modernis dan fundamentalis. Umat Islam dikerat-kerat. Dengan alasan kemajemukan, ada orang muslim yang turut mempropagandakan ‘agama madani’ sebagai gabungan kesamaan antara Islam, Kristen dan Yahudi. “Orang Islam jangan merasa benar sendiri, kebenaran itu relatif, semua agama sama-sama beriman,” kata mereka. Padahal, ini merupakan suatu kemaksiatan.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa menjadikan selain Islam sebagai dîn (agama, sistem hidup) maka tidak diterima apapun darinya dan ia di akhirat termasuk orang yang rugi.” (TQS. Ali Imrân [3]: 85)
Demikian juga, ketika Oktober 2001 yang lalu Amerika menghujani muslim Afghanistan dengan bom curah (cluster bomb), penguasa muslim malah membiarkannya, bahkan mendukung AS. Sebagian umat Islam pun tertipu oleh propaganda AS dan penguasa muslim hingga membiarkan ribuan anak-anak, perempuan dan orang tua renta meninggal, serta 7,5 juta muslim Afghanistan berada dalam kesengsaraan dan ketakutan. Banyak lagi hal-hal senada lainnya yang merupakan kemaksiatan. Bila sikap ini yang terjadi, maka seorang muslim hanya akan mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, persis seperti yang diperoleh manusia yang tidak beriman dan hewan. Tidak lebih !
Sebaliknya, mereka yang merespons kasih sayang Allah SWT tadi dengan ketaatan, ketundukan dan keterikatan terhadap aturan Allah SWT saja, selain mendapatkan al-ma’iyyah al-amah, juga akan mendapatkan al-ma’iyyah al-khashah yang bentuknya berupa ta’yidullah (dukungan Allah SWT) dan nashrullah (pertolongan Allah SWT).
Dulu Rasulullah SAW bersama Abu Bakar mengalaminya saat keduanya berada di gua Tsur untuk menghindari kejaran kaum Quraisy dalam hijrahnya ke Madinah. Orang Quraisy tidak menyangka sama sekali bahwa Rasul dan Abu Bakar berada di dalam gua karena di mulut gua ada burung merpati yang bertelur serta sarang laba-laba yang masih utuh. Logika mereka, bila ada orang masuk, tentu semua itu akan rusak. Tidak mungkin ada sarang laba-laba utuh, tidak mungkin burung tetap di sarangnya, tidak terbang. Padahal, kalaupun ada di goa, baru saja keduanya masuk. Mereka tidak menyadari bahwa Allah-lah yang menciptakan itu semua demi menolong dua hamba terkasihnya. Hal ini diabadikan oleh Allah SWT:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Jika kamu tiada menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, ketika orang-orang kafir mengusirnya, sebagai orang kedua dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua (Tsur), ketika ia berkata kepada sahabatnya: ‘Janganlah engkau berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Lalu Allah menurunkan ketenangan diatas dirinya dan menguatkannya dengan bala tentara yang tiada kamu lihat (malaikat) dan Allah menjadikan perkataan orang-orang kafir rendah dan kalimat Allah tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS. at-Taubah [9]: 40)
Atau seperti yang dialami oleh Nabi Musa dan saudaranya Harun saat menghadapi kekejaman penguasa diktator Fir’aun.
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى
“Berkatalah mereka berdua: ‘Yaa Rab kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” (TQS. Thaha [20]: 45)
Lalu Allah Dzat Maha Gagah menghibur mereka seraya mengatakan,
قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat.” (TQS. Thaha [20]: 46)
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَى ! فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُمْ مِنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُم ْ!
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)’. Maka Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.” (QS. Thaha [20]: 77-78)
Ditinjau dengan logika, sulit dibayangkan Nabi Musa beserta sahabat-sahabatnya dapat selamat. Di depan terbentang lautan tanpa biduk, di belakang pasukan Fir’aun mengepung. Terbang? Tidak bisa. Hendak sembunyi tak ada tempat berlindung. Sungguh, tak dapat dimungkinkan selamat. Secara rasional mustahil selamat. Namun, realitas mengatakan sebaliknya. Mereka selamat, mereka menang. Allah Maha Penolong memberikan dukungan dan pertolongan kepada hamba-Nya yang beriman sebenar-benarnya.
Seorang muslim yakin bahwa dukungan dan pertolongan Allah SWT pasti diberikan kepada manusia yang senantiasa beriman dan konsekwen dengan keimanannya itu. Bukan kepada mereka yang sekedar ‘mengaku dan merasa’ beriman. Karenanya, ia senantiasa akan berusaha mewujudkan keimanannya dalam keta’atan pada semua aturan Allah SWT baik menyangkut kehidupan individu, keluarga maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Ketika dilihatnya bahwa di tengah keluarga, masyarakat dan negara belum tegak aturan Allah SWT, ia akan berjuang hingga aturan itu tegak secara sempurna. Ia tidak takut untuk senantiasa taat dan tidak takut pula dalam berjuang karena Allah SWT pasti akan menolong dan mendukungnya. Baik dukungan berupa kemudahan dalam urusan, jalan keluar atas persoalan yang dihadapi maupun tambahan rizki yang tiada diduga-duga arahnya. Apapun, Allah SWT pasti akan menjadi penolong orang-orang yang istiqamah dijalan-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (TQS. al-Baqarah [2]: 153)
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang bertakwa.” (TQS. al-Baqarah [2]: 194)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ! وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ !
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah, akan diberikan kepadanya (makhrajan) jalan keluar dan akan diberinya rizki dari arah yang tiada diduga-duga, Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (TQS. at-Thalaq [65]: 2-3)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barang siapa yang benar-benar bertaqwa kepada Allah akan dijadikan untuknya kemudahan urusannya.” (TQS. at-Thalaq [65]: 4)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ ! نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ !
“Sesungguhnya orang-orang yang istiqamah menyatakan Rab kami Allah, akan turun kepada mereka malaikat seraya mengatakan janganlah engkau takut dan khawatir. Dan berikan khabar gembira untuk mereka dengan surga yang dijanjikan. Kami-lah pelindungmu didalam kehidupan dunia dan akhirat.” (TQS. Fushilat [41]: 30-31)
Pertolongan Allah SWT seperti itu bukan hanya berlaku untuk para Nabi, Rasul r dan sahabatnya saja. Sebaliknya, hal itu akan diterima juga oleh mereka yang beriman dan membela agama Allah Pencipta Semesta. Dia telah berjanji:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan adalah hak Kami untuk menolong kaum mukmin” (TQS. ar-Rûm [30]: 47)
Jelaslah, kebersamaan Allah SWT yang khusus berupa ta`yîdullâh dan nashrullâh tadi hanya diberikan kepada mereka yang taat kepadanya. Oleh sebab itu, ikrar syahadat yang diungkapkan diikuti dengan ketundukan kepada-Nya akan menjadikan pelakunya senantiasa dilindungi, didukung dan diberi pertolongan oleh Allah Dzat Maha Penolong.